PADA
artikel sebelumnya telah diterangkan tentang masalah wajibnya shalat berjamaah
di masjid. Dalam keterangan tersebut, sekilas nampak bahwa shalat jamaah
seakan-akan diwajibkan bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan.
Padahal tidaklah demikian, karena di dalamnya terdapat beberapa perkecualian
dan kekhususan.
Di
antara kekhususan itu adalah tidak diwajibkannya shalat jamaah bagi wanita. Hal
itu sesuai dengan Ijma(kesepakatan) ulama. Adapun dibolehkannya mereka ikut
serta dalam shalat berjamaah, bukan berarti merupakan kewajiban bagi mereka
sebagaimana yang telah dikatakan oleh Abu Muhammad bin Hazm rahimahullah:
"Permasalahan wajib hadimya shalat berjamaah (di Masjid, peny.), tidak
mengharuskan bagi wanita untuk menghadirinya. Dalam perkara ini tidak terdapat
ikhtilaf di antara para ulama."
Imam
Nawawi juga berkata: "Berkata shahabat shahabat kami: Shalat berjamaah
bukanlah fardlu ‘ain dan bukan pula fardlu kifayah pada haq wanita, tetapi
hanya sunnah saja bagi mereka." Sebaliknya wanita dianjurkan untuk shalat
di runahnya karena fadlilah (keutamaan)nya lebih besar dibandingkan dengan
shalat berjamaah dj masjid. Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda
kepada para wanita:
Shalat
salah seorang di antara kalian di makhda (kamar kecil yang berada di dalam
rumah yang besar dan berguna untuk menjaga barang-barang mahal dan berharga)
lebih~ utama daripada shalat di kamamnya. Shalat di kamamya lebih utama
daripada shalat di rumahnya. Shalat di rumahnya lebih utama daripada shalat di
masjid kaumnya dan shalat di masiid kaumnya lebih utama daripada mereka shalat
bersamaku (masiidku). (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahih
keduanya; dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin AI-AIbani di dalam Jilbab
Marah~Muslimah, hal. I55)
Mengomentari
hadits di atas, Syaikh Albani hafidhahullah berkata: "Hadits tersebut
tidak bertentangan dengan hadits riwayat Imam Muslim yang berbunyi: Shalat di
masjidku lebih utama seribu shalat dibandingkan dengan shalat di masjid-masjid
yang lainnya.
Hadits ini tidak menafikan bahwa shalat-shalat mereka (para wanita) di rumahnya
lebih utama bagi mereka, sebagaimana tidak dinafikannya pula keutamaan shalat
sunnah di rumah bagi laki-laki dibandingkan dengan jika dilakukan di masjid.
Akan tetapi jika dia (laki-laki) shalat di salah satu masjid yang tiga (Mekah,
Madinah dan Aqsha), maka mereka mendapat keutamaan-keutamaan dan
kekhususan-kekhususan・ Demikian pula halnya bagi wanita."
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Shalat
seorang wanita di rumahnya lebih utama daripada shalar dikamarnya. Dan shalamya
dimahdanya lebih utama daripada shalar di rumahnya. (HR. Abu Dawud, hadirs no.
566 dan berRarn SyaiWt Nashiruddin AI-Albnni di dalam Misykatul MasFabih hal.
1063: "Sanadnya shahih atas syarat Muslim. Diriwayatkanpula oleh Imam
Hakim dan berkata: "Sanadnya atas syarat Bukhari dan Muslim dan
Adz-Dzahabi menyetujuinya ")
Beliau
shallalahu alaihi wa sallam bersabda:
Sebaik-baik
masjid bagi wanila adalah di dalam rumah-rumah mereka. (HR. Ahmad (6/301), Ibnu
Khuraimah (3/92) dan Baihaqi (3A31~
Dari
riwayat-riwayat di atas, para ulama mengambil istimbat hukum bahwa shalat
wanita di dalam rumahnya lebih utama daripada shalat di masjid. Mustafa
Al-Adawi di dalam kitab Ahkamu An-Nisa hal. 299, berkata -setelah memaparkan
hadits-hadits ini: "Hadits ini adalah tambahan dari sanad yang menjelaskan
bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama daripada shalat di masjid."
(lihat Shahih Ibnu Khwnimph (3/96) dan Sunan AI-Baihaqi Al-Kubra (3/ 132)).
Beliau (Mustafa) menambahkan: "Sesungguhnya hadits-hadits yang menunjukkan
bahwa shalat wanita di rumahnya Lebih utama dari shalat mereka di masjid itu
adalah shahih dengan terkumpulnya sanad-sanad hadits tersebut."
Imam
Nawawi rahimahullah berkata: "Shahabat-shahabat kami berkata: Shalat
wanita di suatu tempat di dalam rumahnya yang lebih tertutup adalah lebih
afdal, karena terdapat hadits dari Abdullah bin Masud radhjallahu mthu
bahwasanya Rasulullah shaNaNahu alaihi wa sallam bersabda:
"Shalat
wanita di rumahnya lebih utama daripada shalat di kamamya dan shalat di
mahdanya lebih utama daripada di rumahnya." (HR. Abu Dawud dnnsanadnya
shahih atas syarat Muslim, lihat Synrh Muslim, 2/73)
Demikianlah
perkataan Imam Nawawi rahimahullah yang menyatakan bahwa yang lebih afdlal bagi
wanita adalah shalat di rumahnya dengan alasan lebih tertutup dan lebih aman
dari fitnah. Masih banyak lagi paa ulama lainnya yang menyatakan demikian. Di
antaranya Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullah. Beliau berkata ketika
men-syarah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud-: "Shalat wanita
di rumahnya", maksudnya karena kesempuinaan hijab. Dan keutamaan shalat di
rumah bagi wanita karena di bangun atas dasar ini."
Beliau
Obnul Qayyim) menjelaskan pula tentang lafadz riwayat "Rumah mereka lebih
utama bagi mereka". Maksudnya adalah shalat-shalat mereka (wanita) di rumahnya
itu Lebih utama bagi mereka dibandingkan dengan shalatnya di masjid. jika
mereka mengetahui yang demikian (pastilah mereka tidak meminta untuk keluar
masjid). Akan tetapi karena mereka tidak mengetahuinya, maka mereka
(shahabiyah) meminta izin untuk keluar ke masjid dengan berkeyakinan bahwa
pahalanya lebih banyak daripada shalat di rumahnya. Keutamaan yang lain adalah
aman dari fitnah, (hal itu) didukung dengan adanya perbuatan yang dilakukan
para wanita (yakni tabarruj, ikhtilath [bercampurnya antara laki-laki dan
perempuan], memakai wangi-wangian dan lain-lain).
Dalam
hadits lain riwayat Ibnu Masud radhiyaIlahu anhu secara morfudisebutkan:
Sebaik-baik
masjid bagi wanita adalah ruma rumah mereka. (HR Ahmad. 6/301, IbnuKhuzaimah
3/29, dan Baihaqi 3/131)
Syaikh
Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: "Allah tidak menerima shalat
wanita yang sudah haidl (baligh), kecuali jika ia memakai kerudung walaupun di
dalam rumahnya dan tidak ada orang-orang asing (bukan mahram) yang melihatnya.
Hal itu menunjukkan diperintahkan menutup aurat dari sudut syariat yang tidak
diperintahkan kepada laki-laki. Yang demikian diwajibkan oleh Allah atas
mereka, walaupun dia tidak dilihat oleh seorang pun." Allah berfirman:
Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu. (Al-Ahzab: 33)
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Janganlah
kalian mencegah hamba-hamba Allah (wanita) ke masiid, meskipun rumah-rumah
mereka adalah lebih baik bagi mereka. (HR Bukhari no. 900) Juga sabda beliau
shallallahu alaihi wa sallam (yang artinya): "Shalat salah seorang di
antara kalian (para wanita) di mahda-nya lebih utama daripada shalat di
kamarnya. Shalat di kamarnya lebih utama daripada shalat di rumahnya Shalat di
rumahnya lebih utama daripada shalat di masjid kaumnya dan shalat di masjid
kaumnya lebih urama daripada shalat bersamaku (HR. Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan
Ibnu Hibban dalam Shahih keduanya; dihasankan oleh SyaiRh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani di dalam Jilbab Marah Muslimah, hal. 155)
Imam
Syaukani rahimahullah berkata: "Shalat mereka (wanita) di rumahnya adalah
lebih balk dan utama daripada shalat di masjid jika mereka mengetahui yang
demikian. Akan tetapi, karena mereka tidak mengetahuinya, mereka meminta izin
untuk keluar ber-
jamaah.
Mereka berkeyakinan bahwa pahala shalat di masjid lebih banyak. Keutamaan yang
lainnya adalah bahwa shalat-shalat mereka di rumahnya lebih aman dari fitnah.
Yang menekankan demikian ini karena adanya pebuatan yang diadakan oleh wanita
seperti tabarruj (berdandan) atau bersolek, sebagaimana yang telah dikatakan
oleh Aisyah radhiyallahu anha. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
hafidhahullah berkata: "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Rumah-rumah mereka lebih utama bagi mereka. Hadits ini memberikan pengertian
bahwa shalat wanita di rumahnya lebih utama. Jika mereka (para wanita) berkata:
"Aku ingin shalat di masjid agar dapat berjamaah." Maka akan aku
(syaikh Utsaimin) katakan: "Sesungguhnya shalatmu di rumahmu itu lebih
utama dan lebih baik. Hat itu dikarenakan seorang wanita akan terjauh dari
ikhtilath bersama lelaki lain, sehingga akan dapat menjauhkannya dari fitnah.
Dari keterangan di atas telah jelas bagi kita keutamaan shalat wanita di
rumahnya. Walaupun begitu mungkin akan timbul dalam benak kita suatu
pertanyaan: "Manakah yang lebih utama, wanita shalat di rumahnya dengan
berjamaah atau shalat sendiri. Dan apakah shalat jamaahnya akan mendapatkan
seperti apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam (yakni
lebih utama 27 derajat)?" Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu
kita melihat syarah hadits "Shalat berjamaah lebih utama dibandingkan
shalat sendiri dengan dunpuluh lima (dalam riwayar lain dengan duapuluh tujuh)
derajat. " Apakah hadits tersebut bersifat umum bagi laki-laki dan wanita?
Imam
Ibnu Hajar Asqalani dalam Fathul Bari, juz 2 ha1.157, mengatakan tentang
kekhususan keutamaan shalat berjamaah dengan membawakan keterangan para ulama
yang mensyarah hadits tersebut. Seperti Ibnu Qattan dan para pensyarah lain
yang dikomentari oleh At-Zain bin Al-Mundzir dan yang lain secara terperinci.
Beliau (Ibnu Hajar) berkata: "Sungguh aku menganggap benar pendapat mereka
yang sesuai dengan keadaan shalat berjamaah dan menolak yang tidak dikhususkan
bagi shalat berjamaaah seperti:
Memenuhi
panggilan adzan.
Segera
datang pada awal waktu.
Berjalan
ke mesjid dengan tenang.
Masuk
ke masjid dengan berdoa.
Shalat
Tahiyatul masjid.
Menanti
jamaah.
Shalawat
dan doa malaikat baginya.
Persaksian
malaikat baginya.
Memenuhi
iqamah.
Keselamatan
dari gangguan setan ketika setan lari dari suara iqamah.
Berdiri
menunggu takbir pertama imam atau mengikuti semua perbuatan imam.
Mendapatkan
takbiratul ihram.
Meratakan
dan meluruskan shaf-shaf
Menjawab
imam ketika mengucapkan sami’allahu liman hamidah.
Aman
dari lupa secara dominan dan mengingatkan imam ketika lupa dengan bacaan
tasbih.
Mendapatkan
rasa khusyu dan selamat dari kesia-siaan.
Memperbaiki
sikap.
Kerumunan
malaikat di sisinya.
Memperbaiki
tajwid bacaan Al-Quran.
Menampakkan
syiar Islam.
21.Menimbulkan
kemarahan setan dengan berkumpul dalam beribadah dan saling tolong-menolong
dalam ketaatan dan sebagai penyemangat orang-orang yang malas.
Selamat
dari sifat nifaq dan menghilangkan prasangka buruk dari yang lain karena
meninggalkan shalat.
Menjawab
salam imam.
24.
Mengambil manfaat dengan berkumputnya doa mereka serta saling melengkapi.
25.
Menegakkan aturan persatuan antar sesama jamaah dan mendapatkan perhatian
mereka pada waktu shalat.
Ke-25
hal itu semua diperintahkan dan disemangatkan." (Farhul Barijuz 2 hal.
157) Dengan keterangan di atas dijelaskan bahwa semua hadits yang menunjukkan
keutamaan shalat berjamaah adalah berkaitan dengan shalat jamaah di masjid dan
tidak di rumah.
Oleh
karena itu perlu dipertanyakan pernyataan Syaikh Musthafa Al-Adawi dan Abu
Muhammad bin Hazm di bawah ini yang menyatakan bahwa hadits di atas menunjukkan
keutamaan shalat jamaah mencakup laki-laki dan wanita.
Syaikh
Musthafa al-Adawi berpendapat:
Shalat
wanita dengan berjamaah di masjid lebih utama daripada shalatnya sendiri di
masjid.
Shalat
wanita dengan berjamaah di rumahnya lebih balk daripada shalat sendirian di
rumahnya.
Beliau
berkata: "Kedua point di atas termuat dalam keumuman hadits Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam: "Shalat jamaah itu lebih utama daripada
shalat sendirian dengan 27 derajat." Demikian pula dengan shalat jamaah
wanita di rumahnya, sebagaimana terdapat dalam kisah Anas. Beliau (Anas) shalat
bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan di belakangnya terdapat
wanita yang sudah tua. Juga telah tsabit (pasti) bahwa sebagian istri-istri
Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat berjama ah di rumah mereka. Jika tidak
terdapat suatu keutamaan, maka hal ini tidak akan dilaksanakan oleh para wanita
(shahabiyah) di jaman Rasulullah shaNaNahu alaihi wa sallam".
Oleh
karena itu harus kita katakan bahwa shalat wanita di rumahnya sendiri lebih
utama dibandingkan dengan shalatnya di masjid secara berjamaah. Hal ini karena
masuk dalam keumuman hadits Rasulullah shoIlallahu alaihi wa sallam: Shalat
wanita di rumahnya lebih balk (utama) daripada sbalatnya di masjid. Adapun jika
dia (wanita) keluar dari rumabnya ke rumah wanita lain untuk shalat bersamanya,
maka hal ini -wallahu alam- lebih berkurang pahalanya daripada sbalatnya di
masjid. Karena keluamya wanita sudah terwujudkan, sehingga tinggal keutamaan
masjid dan menyaksikan kebaikan bersama kaum muslimin itu lebih utama daripada
(shalat)di rnmab wanita yang lain. wallahu alam." Demikianlah keterangan
dari Syaikh Musthafa Al-Adawi.
Abu
Muhammad bin Hazm rahimahullah berkata: "Jika para wanita shalat dengan
berjamaah dan mengimami salah satunya, maka hal ini adalah hasan (baik) karena
tidak ada nash yang melarang dari perbuatan yang demikian itu. Dan tidak pula
sebagian mereka memutus shalat sebagian yang tainnya disebabkan sabda
Rasulnllah shallallahu alaihi wa sallam: Sebaik-baik shaf bagi wanita adatah
yang paling akhir. Beliau (Ibnu Hazm) berkata pula: "Shalat wanita dengan
wanita yang lain, bahkan masuk ke dalam perkataan Rasulullah shalallahu alaihi
wa sallam: Sesungguhnya shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian
dengan 27 derajat. Shalat mereka dengan berjamaah lebih utama daripada shalat
sendirian." Para ulama berselisih dalam masalah shalat
seorang
wanita bersama wanita-wanita lain secara berjamaah. Ada yang mengatakan
mustahab (sunnah) berdasarkan riwayat Aisyah dan Ummu Salamah. Yang berpendapat
seperti ini adalah Atha, Ats-Tsauri, Auza i, Syafii, Ishaq dan Abu Tsaur. Ada
yang mengatakan bukan sunnah seperti Imam Ahmad. Ada pula yang mengatakan
makruh seperti Ashabur Rayi. Sedangkan Asy-Syabi, An-Nakhai dan Qatadah
menyatakan bahwa hal ini (shalat berjamaah bagi wanita) dilakukan pada shalat
sunnah bukan shalat wajib. Sulaiman bin Yasar mengatakan bahwa wanita tidak
boleh mengimami pada shalat wajib maupun sunnah. Imam Malik mengatakan bahwa
tidak pantas bagi wanita untuk mengimami seorang pun. Yang demikian karena
dimakruhkan adzan baginya yaitu panggilan untuk shalat berjamaah, maka
dimakruhkan pula baginya sesuatu yang dimaksudkan oleh adzan. (AI-Mughni,
jilidt. ha1.17)
Syaikh
Al-Albani mengomentari hadits Aisyah dan Ummu Salamah yang mengimami para
wanita dalam shalat (hadits tersebut menurut beliau sanadnya shahih) dengan
perkataan beliau sebagai berikut: "Atsar-atsar ini baik untuk diamalkan,
lebih-lebih jika dihubungkan dengan keumuman sabda Rasulullah bahwa para wanita
itu serupa lelaki . Namun penyamaan ini dalam hal berjamaah bukan dalam
keutamaan yang dua puluh lima atau dua puluh tujuh derajat." Kemudian
tentang pernyataan AI-Adawi: "Jika lidak terdapat suatu keutamaan, maka
hal ini tidak akan dijalankan oleh para shahabiyah dijaman Rasulullah,"
masih perlu dipertanyakan. Karena tidak setiap perbuatan yang dilaksanakan oleh
shahabiyah adalah sesuatu yang afdlal, bahkan terkadang mereka pun meninggalkan
perkara yang afdlal. Hal ini terbukti denganjelas ketika para shahabiyah pergi
ke mesjid untuk shalat berjamaah, padahal Rasulullah telah bersabda:
"Sebaik-baik mesjid bagi wanita adalah di dalam rumah-rumah mereka."
Dari
keterangan-keterangan di atas, maka keutamaan dua puluh lima dan dua puluh
tujuh derajat itu khusus untuk shalat jamaah yang dilakukan di masjid
,sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar: "Bahkan yang paling jelas
adalah bahwa derajat yang disebutkan itu khusus bagi jamaah di masjid"
(Fathul Bari, juz 2, hal. 159). Beliau juga menerangkan bahwa derajat itu
diperoleh dengan dua puluh lima keunggulan yang telah disebutkan yang semua itu
diambil dari hadits (artinya): DanAbuHuraairah radliyallahu anhu, ia berkata
bahwa Rosulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda: "Shalat
seseorangdengan berjama ah dilipatgandakan atas shalatnva di rumahnya dan dipasar
dengan dua puluh lima lipat. Hal ini dia peroleh apabila ia berwudlu. lalu
menyempurnakan wudlunya kemudian keluar menuju masiid. Tidak mengeluarkannya
kecuali untuk shalat. Maka tidaklah ia melangkahkan satu langkah, kecuali
diangkat baginya satu derajat dan dihapus darinya satu kesalahan dan tatkala
dia shalat para malaikat terus menerus mengucapkan shalawat atasnya selama dia
di tempat shalatya dengan doa: Ya Allah, berilah shalawat atasnya. rahmatilah
dia. Terus-menerus salah seorang di antara kalian dalam keadaan shalat selama
menunggu shalat. " (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan
keterangan-keterangan di atas, maka shalat jamaah wanita di rumahnya tidak
termasuk dalam keutamaan itu (dua puluh lima atau dua puluh tujuh derajat),
tetapi mereka mempunyai keutamaan tersendiri yaitu shalat seorang wanita di
rumahnya dengan berjamaah atau tidak berjamaah lebih utama dari pada shalatnya
di masjid. Wallahu a lam bishawab
Diperbolehkaonya
Wanita Shalat Berjamash di Masjid dan Laraogan Mencegahnya
Keutamaan
shalat wanita di dalam rumahnya sebagaimana telah dijelaskan di atas tidak
menafikan bolehnya para wanita shalat berjamaah di masjid. Bahkan mengharuskan
bagi wali atau suami untuk tidak melarang mereka jika hendak shalat berjamaah
di masjid, tentunya dengan syarat.
Telah
menjadi ijma (kesepakatan) para ulama bahwa Rasulullah shallallahu aiaihi wa
sallam tidak mencegah sama sekali para wanita untuk shalat berjamaah di masjid
bersama beliau sampai wafatnya. Demikian pula para khulafa Ar-Rasyidin sesudah
beliau shallallahu alaihi wa sallam.
Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Apabila
salah satu wanita di antara kalian meminta izin ke masiid, maka janganlah
kalian cegah mereka. (HR Murlim, 442 dan Nasai. 2/42; Musthafa al-Adawi
menshahihkannya)
Dari
Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, RasuluIlah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda:
Janganlah
kalion melarang hamba (para wanita) Allah ke masjid-masjid Allah・ "(HR.
Bukhari, no. 900) Juga dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Janganlah
kalian mencegah wanita-wanitn kalian ke masiid. Sedangkan rumah-rumah mereka
lebih baik untuk mereka.(HR. Abu Dawud; dishahihRan oleh Syaikh Al-Albani di
dalam Shahih Abu Dawud: 576 dan dalam Misykatul Mashabih: 1062)
Menyoroti
hadits-hadits di atas, Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Hadits ini dan
yang semisalnya (menjelaskan) dengan jelas sekali bahwa wanita tidak dilarang
pergi ke masjid. Akan tetapi dengan syarat-syarat yang telah disebutkan oleh
para ulama yang diambil dari hadits-hadits yaitu:
Tidak
memakai wangi-wangian,
Tidak
tabarruj, Tidak memakai gelang kaki yang dapat terdengar suaranya,
Tidak
memakai baju yang mewah,
Tidak
berikhtilat dengan kaum laki-laki dan bukan gadis yang dengannya dapat
menimbulkan fitnah,
Tidak
terdapat sesuatu yang dapat menimbulkan kenrsakan di jalan yang akan dilewati.
Adapun
larangan tidak bolehnya wanita keluar ke masjid untuk shalat jamaah hukumnya
makruh. Apabila dia sudah mempunyai suami atau tuan rumah dan terpenuhi
syarat-syarat yang disebutkan tadi, maka diperbolehkan. Namun jika dia
belum/tidak mempunyai suami atau tuan, maka hal ini dilarang meskipun telah
terpenuhi syarat-syarat di atas.
Ibnu
Hazm rahimahullah berkata: "Tidak halal bagi wali perempuan dan tidak pula
bagi tuan budak untuk mencegah wanita hadir shalat berjamaah di masjid, apabila
diketahui bahwa mereka ingin melakukannya. Tidak halal bagi mereka (para
wanita) untuk keluar dalam keadaan berwangi-wangian, berpakaian mewah (yang
merangsang). Jika mereka melakukan yang demikian, maka laranglah."
Ibnu
Katsir rahimahullah dalam menafsirkan
surat
Al-Ahzab ayat 33: "dan hendaklah kamu tetap di rumahmu."maksudnya
adalah tetaplah kalian (wahai para wanita) di rumah-rumah kalian dan janganlah
keluar, kecuali jika ada hajat (keperluan). Di antara hajat-hajat yang syari
adalah shalat di masjid dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana sabda
Rasulullah shallallnhu alaihi wa sallam: Janganlah kalian mencegah hamba-hamba
(para wanita) Allah ke masjid-masjid Allah dan hendaklah keluar dengan tanpa
wangi-wangian. Dalam riwayat lain rumah mereka lebih baik bagi mereka.
Syaikh
Abdul Aziz bin Abdillah bin baaz berkata: "Tidak diperbolehkan bagi sang
suami untuk mencegah istrinya yang hendak ke masjid, namun shalatnya (istri)
lebih utama di rumahmya. Wajib atasnya menjaga adab-adab Islam yaitu mengenakan
pakaian yang menutupi auratya, menjauhi pakaian-pakaian yang mewah dan pakaian
yang memperlihatkan auratnya karena sempit, tidak memakai wangi-wanglandan
tidak ikhtilat dengan laki-laki lain pada shaf tapi di belakang shaf mereka.
Sungguh telah ada wanita-wanita pada zaman RasuluIlah shallallahu alaihi wa
sallam keluar ke masjid dengan mengenakan jilbab-jilbab dan shalat di belakang
kaum laki-laki. Telah tsabit dari Rasulullah shallallahu alaihi wn sallam
bahwasanya beliau bersabda:Janganlah kalian mencegah hamba-hamba (para wanita)
Allah ke Masjid Allah. Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda pula:
Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan dan sejelek-jeleknya adalah
yang paling belakang. Sedangkan sebaik-baik shaf bagi wanita adalah yang paling
belakang dan sejelek-jeleknya adalah yang paling depan."(Fatawa, 7/236)
Inilah syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama yang disyariatkan
kepada para wanita yang ingin ke baitullah laala. Syarat-syarat ini diambil
dari hadits Rasulullah shnllallahu alaihi wa sallam, di antaranya:
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda:
Wanita
mana saja yang memakai wamgi-wangian, maka janganlah menghadiri shalat Isya
yang akhir bersama kami (H.R Muslim: 4/162, Abu Dawud 4175, Nasai: 7/153 dan
Miskatul Mashabih: 106; berkata Abu Maryam di dalam AI-Manhiyyat Al- Usyri li
An-Nisa :hadits Shahih)
Zainab
Ats-Tsaqafiyah mengabarkan bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda:
Apabila
salah satu di antara kalian menghadiri shalat Isya : makajanganlah
berwangi-wangian pada malam itu. (HR Muslim 3/163, Nasa i. 7/154 dan Baihaqi di
dalam Sunannya AI-Kubra 3/133)
Di
dalam riwayat yang lain:
Apabila
salah satu di antara kalian, menghadiri masjid, maka janganlah mengenakan
wangi-wangian.(HR Muslim: 4/163, Ibnu Khuzoimah 1680, dan Baihaqi 3/ 439)
Dari
Abu Hurairah radhivallnhu anhu, is berkata: Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
"Wanita
mana saja yang berwangi-wangian, kemudian keluar ke masjid, maka tidak diterima
shalatya sampai ia mandi: Dalam riwayat lain: "Apabila seorang wanita
keluar
ke masjid, maka mandilah dari wangi-wangian sebagaimana mandinya dari junub.
" (HR. Abu Dawud: 4174, Ibnu Majah: 4002, Baihaqi: 3/133 dan di dalam
Miskatul Mashabih: 1084; Berkata Abu Maryam Majdi: hadits hasan)
Dari
hadits-hadits di atas, para ulama menetapkan syarat-syarat bagi wanita yang
ingin shalat di masjid. Abu Maryam Majdi berkata: "Pada hadits-hadits
tersebut terdapat pengharamam berwangi-wangian bagi wanita yang ingin keluar ke
masjid karena terdapat unsur penggerak dan pengundang syahwat kaum
lakilaki".
Ibnu
Daqig Al-Idd berkata: "Disamakan dengan wangi-wangian sesuatu yang semakna
dengannya, karena sebab larangannya adalah terdapat sesuatu yang menggerakkan
dan mengundang syahwat seperti: pakaian yang mewah, dandanan yang tampak
bekasnya dan gerak-gerik dengan kebanggaan.
Dari
keterangan-keterangan di atas jelas dan terang bagi kita tentang bolehnya
wanita pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat bejamaah tatkala sudah
terpenuhi syarat-syaratriya,
Terakhir
kali, kita kutip perkataan Musthafa Al Adawi yang menyatakan: "Apabila
wanita meminta izin pada malam atau siang hari diizinkan baginya. Namun jika
fitnahnya lebih sedikit, maka pemberian izin diperbolehkan. Wallahu a’lam
Oleh
sebab itu, sudah seharusnya para wanita muslimah memperhatikan hal-hal yang
telah disebutkan di atas. Wallahu,a lam bis shawab.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar