“Dan sesungguhnya telah Kami utus seorang rasul pada setiap ummat agar mereka menyeru, ‘Beribadahlah kalian semua kepada Allah dan jauhilah thaghut’.” (An-Nahl : 36).
“Dan
tidaklah Kami utus seorang rasul sebelum kamu (Muhammad), kecuali telah Kami
wahyukan kepadanya bahwa sesungguhnya tiada ilah kecuali Aku, maka sembahlah
Aku.” (Al-Anbiya’ : 25).
Telah
lewat jaman para rasul, dan telah turun syariat mereka untuk kaum-kaum mereka.
Begitu pula telah ditetapkan inti ajaran dan dakwah dari rasul kita, yaitu
Muhammad salallahu ‘alaihi wa sallam. Para rasul adalah orang-orang yang
terpilih untuk menyampaikan risalah yang agung ini. Tidaklah Allah ta’ala
mengutus dan memberikan amanah ini kepada seseorang kecuali pasti dan pasti
Allah ta’ala mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Allah ‘azza wa jalla juga
tidak akan menciptakan manusia begitu saja, ditelantarkan dan dibiarkan hidup
tanpa tujuan. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala : “Apakah manusia mengira
bahwa mereka ditelantarkan dan didiamkan saja ?” (Al-Qiyamah : 36). Imam Syafi’i
menafsirkan ayat ini, “Tidak dilarang dan tidak diperintah ?” (Fathul Majid
Syarh Kitabit Tauhid Muhammad Abdul Wahhab, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu
Syaikh)
Akan
tetapi Allah berfirman : “Dan tidaklah kuciptakan jin dan manusia kecuali untuk
beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat : 56)
Setelah
kita dapat mengetahui tujuan Allah menciptakan kita, maka akan jelaslah apa
tujuan dakwah para rasul bagi setiap umatnya, karena yang menjadi tujuan Allah
pastilah juga menjadi tujuan para utusan-Nya. Tujuan dakwah para rasul tidak
lain adalah makna dari ayat yang telah tertulis di awal risalah ini (An-Nahl :
36). Adapun makna dari ayat tersebut, Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh
berkata, “Sesungguhnya Dia telah mengutus seorang rasul kepada setiap kelompok
manusia dengan kalimat yang tinggi, ‘beribadahlah kalian kepada Allah dan
jauhilah thaghut’, yang artinya adalah beribadahlah kalian hanya kepada Allah
semata dan tinggalkan peribadatan kepada selain-Nya.”
Adapun
makna thaghut, Ibnul Qayyim berkata, “Thaghut adalah suatu keadaan yang
melebihi batasan-batasan seorang hamba, seperti diibadahi, diikuti atau
ditaaati (dalam hal yang melanggar syariat).”
Maka
Ibnul Qayyim membagi macam-macam thaghut pada setiap kaum, yaitu :
1.
Orang yag berhukum selain dari hukum Allah dan rasul-Nya (al-Qur’an dan
as-Sunnah).
2.
Orang yang diibadahi selain Allah dan dia ridlo.
3.
Orang yang diikuti, tetapi dia tidak berada di atas bashirah (ilmu) dari Allah
dan diapun ridlo.
4.
Orang yang ditaati dalam perkara-perkara yang dalam perkara-perkara tersebut
hanya Allah-lah yang pantas untuk ditaati dan diapun dalam keadaan ridlo.
(Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid)
Sungguh
para rasul yang telah diutus sangat memperhatikan ilmu tauhid ini. Dapat
dilihat dari sejarah Nabi kita, Muhammad salallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
selama tigabelas tahun mendakwahkan tauhid dan aqidah di Makkah, baru kemudian
ilmu yang lainnya di Madinah. Perjalanan Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam
ini menunjukkan betapa besarnya perkara tauhid ini. Dalam hal ini Syaikh
Muhammad bin Abdil Wahhab berkata, “Dan perkara yang paling agung, yang Allah
perintahkan adalah Tauhid yang artinya mengesakan Allah dalam beribadah,
sedangkan larangan yang paling besar adalah Syirik yang artinya beribadah
kepada Allah tetapi disertai juga beribadah kepada selain-Nya.” (Syarh
Tsalatsatul Ushul Muhammad at-Tamimi, Syaikh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin).
Allah
ta’ala berfirman dalam kitab-Nya : “Beribadahlah hanya kepada Allah dan jangan
kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” (An-Nisa : 36)
Ibnul
Qayyim pun berkata, “Barangsiapa yang ingin meninggikan bangunannya, maka wajib
bagi dia untuk memperkuat pondasinya, karena tingginya bangunan itu ditentukan
oleh kekuatan pondasinya. Amal shalih merupakan cermin dari bangunan dan
keimananlah (tauhid) sebagai pondasinya. Tentu seorang yang bijaksana akan
memperhatikan secara khusus pada pondasinya dan berusaha untuk memantapkannya,
akan tetapi orang yang bodoh akan berusaha untuk meninggikan bangunannya, maka
tidak berapa lama bangunannya pasti akan runtuh.” (Sittu Duror min Ushuli Ahlil
Atsar : 13, Syaikh Abdul Malik Ahmad Ar-Ramadhany)
Perkataan
Ibnul Qayyim ini merupakan perkataan yang sangat indah. Perkataan yang
menggambarkan betapa pentingnya tauhid untuk mendapatkan keutamaan di sisi
Allah jalla jalaluh. Dengan tauhid maka akan menimbulkan keyakinan di hati
seorang hamba dan akan melaksanakan syariat ini dengan sungguh-sungguh, dia
tidak akan goyah dari hembusan-hembusan orang disekitarnya yang akan melencengkan
dia dari jalan yang lurus. Jika ada suatu hal yang mencocoki syariat, maka akan
dipegang erat-erat, jika tidak, maka akan dijauhi sejauh-jauhnya. Itulah hasil
yang didapat dari pondasi yang kuat atau tauhid yang mantap. Akan tetapi
sungguh telah banyak manusia yang melalaikannya, bahkan dari orang-orang yang
ditokohkan banyak yang mengatakan, “Untuk memajukan umat ini kita harus
memperhatikan permasalahan ekonomi, teknologi, dan sosial serta politik agar
tidak tertinggal dari peradaban barat yang sangat maju, dan hanya permasalahan
inilah yang menjadi titik tumpu bagi kemajuan bangsa-bangsa barat”. Subhanallah
…… !!! Maka tidak
heran jika mereka, yaitu orang-orang yang ditokohkan, berbicara di atas
panggung, maka mereka akan mengambil tema “Teknologi Islam”, “Ekonomi Islam”,
dan mengenyampingkan permasalahan tauhid. Jika ada yang mengambil tema “Tauhid
yang benar”, “Aqidah yang lurus”, “Keutamaan Tauhid”, maka ini semua dianggap
kuno dan ketinggalan jaman, padahal untuk mendapatkan yang mereka idamkan diperlukan
kekokohan pondasi yaitu kekuatan tauhid dengan pengamalannya yang sesuai dengan
al-Qur’an dan as-Sunnah, jika tidak, maka, demi Allah, hancurlah bangunan
mereka.
Allah
berfirman dalam kitab-Nya yang mulia : “Allah telah menjanjikan bagi
orang-orang yang beriman lagi beramal shalih diantara kalian untuk menjadikan
mereka pemimpin-pemimpin di bumi ini, sebagaimana Allah telah jadikan pendahulu
kalian sebagai pemimpin, dan sungguh Allah akan menetapkan agama yang
diridloi-Nya untuk mereka, dan sungguh Allah akan menggantikan rasa takut
menjadi rasa aman bagi mereka. Yang demikian itu akan didapatkan manakala
kalian menyembah-Ku dan tidak berbuat syirik dengan sesuatu apapun. Dan
barangsiapa yang kufur setelah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasiq.”
(An-Nur : 55). Ayat di atas menjelaskan kepada kita, bahwa akan tercapainya
kepemimpinan di muka bumi, ketetapan agama dan ketenangan hidup adalah hanya
dengan mengamalkan tauhid, yaitu hanya beribadah kepada-Nya, dan meninggalkan
syirik, yaitu tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun dalam beribadah
kepada-Nya. Ini adalah janji Allah, yang Allah tidak akan menyelisihi
janji-Nya. Akan tetapi jika kita mengingkari hal tersebut, melaksanakan tauhid
dan meninggalkan syirik, maka Allah ta’ala akan memasukkan kita ke dalam
golongan orang-orang fasiq.
Dengan
semua penjelasan-penjelasan di atas, lalu bagaimanakah kita ? Apa yang akan
kita utamakan setelah ini, tauhid atau yang lainnya ? Dengan apakah kita akan
mendapatkan kejayaan, dengan tauhid atau dengan yang lain ? Sungguh jawabannya
hanya berkisar pada satu titik, yaitu inti dari dakwah para rasul, yaitu
mengetahui dan mengamalkan tauhid dan meninggalkan syirik. Semoga Allah
memasukkan kita ke dalam golongan muwahhidin (orang-orang yang bertauhid) dan bukan
musyrikin, Amiin ya Rabbal ‘Alamin. Wallahu A’lamu Bishshawab.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar