Rabu, 26 September 2012

Tidak Mengkhianati Allah & RasulNya


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”(QS. al-Anfal: 27).

Selain berkewajiban mencintai Allah dan RasulNya,  seorang mukmin juga memiliki sifat senantiasa taat kepada keduanya. Tiada kecintaan tanpa kepatuhan. Para sahabat telah memberikan keteladanan dalam masalah ketaatan, dengan keteladanan yang luar biasa. Bahkan mereka meletakkan taat kepada Allah dan RasulNya di atas ketaatan segenap manusia, sekalipun itu adalah ibu dan ayahnya.

Sejarah mencatat betapa tingginya ketaatan Saad bin Abi Waqqash ra. terhadap Allah dan RasulNya, bahkan melebihi kecintaan dan ketaatan kepada ibu kandungnya yang selama ini ditaati dan dicintai. Ketika ibunya marah karena Saad telah menjadi muslim, ia memaksa anaknya untuk murtad. Salah satunya sang ibu melakukan mogok makan berhari-hari agar Saad merasa iba kepadanya dan mau keluar dari dienul Islam.

Akan tetapi Saad bin Abi Waqqash tetap setia kepada Allah dan RasulNya. Hingga terlontar ucapan yang dikenang dalam sejarah:

“Duhai bunda, meskipun engkau memiliki 100 nyawa dan keluar satu demi satu aku tetap tidak akan keluar dari agamaku, maka terserah dirimu makan atau tidak makan.”

Sikap taat dan berat hati mengkhianati Allah dan RasulNya juga ditunjukkan oleh Abu Lubabah bin Abdul Mundzir ra. Ketika pasukan kaum muslimin memerangi Yahudi Bani Quraidhah yang telah mengkhianati perjanjian dengan Rasulullah saw., Abu Lubabah diutus oleh Nabi saw. untuk  mendatangi mereka. Kepadanya Rasulullah berpesan agar merahasiakan keputusan Beliau untuk menghukum mati laki-laki dewasa Yahudi sebagai hukuman atas pengkhianatan mereka.

Saat Abu Lubabah masuk ke dalam benteng Yahudi Bani Quraidzah, ia dikerumuni anak-anak dan wanita, sehingga ia merasa kasihan. Lalu orang-orang Yahudi lalu mengerumuni Abu Lubabah dan bertanya, “Wahai Abu Lubabah, bagaimana pendapatmu kalau kita tunduk kepada hukum Muhammad?” Abu Lubabah menjawab, “Ya,” sambil memberi isyarat dengan tangan ke tenggorokannya, yang menandakan mereka akan dibunuh sebagai hukuman.

Seketika Abu Lubabah sadar bahwa ia telah mengkhianati amanah dari Allah dan RasulNya. “Demi Allah, kedua kakiku belum bergeser dari tempatku hingga aku sadar aku telah mengkhianati Allah dan Rasulullah saw.” Ia pun pergi menuju mesjid Nabawi dan mengikat diri pada salah satu tiangnya.

Abu Lubabah berkata, “Aku tidak beranjak dari tempatku ini hingga Allah menerima taubatku atas perbuatanku. Aku berjanji kepada Allah untuk tidak menginjakkan kaki di Bani Quraidhah untuk selama-lamanya dan aku tidak perlihatkan selama-lamanya kepada negeri yang di dalamnya aku pernah mengkhianati Allah dan RasulNya.”

Ketika kabar ini sampai kepada Rasulullah saw., beliau berucap, “Seandainya ia datang kepadaku, aku pasti memintakan ampunan untuknya. Tapi jika ia telah berbuat seperti itu, aku tidak melepaskannya hingga Allah menerima taubatnya.”

Demikianlah Abu Lubabah terikat di tiang mesjid selama enam hari hari. Ia hanya melepaskan ikatan untuk menunaikan shalat. Selama sembilan hari ia kepayahan dan jatuh pingsan, sampai Allah memberitahukan kepada Nabi saw. bahwa taubat Abu Lubabah diterima.

Ummu Salamah berkata bahwa menjelang subuh aku dengar Rasulullah saw. tertawa. Ketika Ummu Salamah menanyakan penyebab tertawanya, Beliau menjawab, “Karena taubat Abu Lubabah diterima Allah.” Pengampunan itu turun dalam ayat berikut:

وَءَاخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَءَاخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللَّهُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. at-Taubah: 102).

Kabar ini lalu disampaikan kepada Abu Lubabah. Para sahabat pun mengerumuninya. Akan tetapi Abu Lubabah ra. telah bernazar bahwa ikatannya hanya mau dilepas oleh Rasulullah saw. Ia pun bernazar untuk menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah.

Nabi saw. lalu datang dan melepaskan ikatan Abu Lubabah ra. Adapun nazar infaknya maka Nabi saw. memintanya untuk mengeluarkan sepertiga dari hartanya saja, tidak seluruhnya.

Inilah keteladanan Abu Lubabah dalam menepati amanah dari Allah dan RasulNya. Dan demikianlah cara beliau bertanggung jawab atas pengkhianatan yang dilakukannya. Semoga Allah merahmatinya.

Lalu bagaimana dengan kaum muslimin hari ini yang banyak melanggar amanah dari Allah dan RasulNya? Mengabaikan ketaatan pada keduanya? Bahkan sengaja menelantarkan perintah dan larangan dari Allah dan Rasulullah saw.?

Jika Abu Lubabah yang hanya melanggar satu amanah saja telah demikian merasa bersalah, bahkan bernazar demikian berat di hadapan Allah untuk menebus dosanya? Mengapa sekarang banyak kaum muslimin yang merasa aman dan tenang tatkala mengkhianati petunjuk dari Allah dan RasulNya?

Saatnya kita melakukan introspeksi diri. Meluruskan keimanan kita agar senantiasa taat pada keduanya.

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”(QS. al-Ahzab: 36).

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

 
back to top