Selasa, 25 September 2012

Mempermudah Bukan Mempersulit

Saat Rasulullah saw. mengutus Muadz bin Jabal dan Abi Musa Al Asy’ari ra sebagai wali, Beliau berpesan:

“Kalian berdua harus bisa menyampaikan kabar yang menyenangkan, dan bukannya kabar yang menyedihkan. Kalian juga harus menyampaikan kabar gembira dan bukannya menjadikan mereka (rakyat) jera.” (H.R. Bukhari)

Ada etika kekuasaan yang telah ditanamkan oleh Islam bagi para penguasa. Selain menempatkan para penguasa sebagai pihak yang harus melindungi dan mengayomi rakyat, Islam juga mengharuskan para penguasa untuk selalu mempermudah urusan rakyat serta menciptakan kebahagiaan bagi mereka dalam berbagai urusan.

Hal ini memang karakter syariat Islam yang memberikan kemudahan dan praktis bagi umat manusia. Firman Allah Ta’ala:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”(QS. al-Baqarah: 185).

Aisyah ra. meriwayatkan bahwa Nabi SAW. senantiasa mengambil pilihan termudah jika dihadapkan pada pilihan-pilihan  yang ada.

مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَمْرَيْنِ إِلَّا اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ
“Tidaklah Nabi SAW. memilih di antara dua perkara melainkan memilih yang paling mudah di antara keduanya selama bukan perkara dosa, dan jika terdapat dosa maka beliau menjauhkan manusia darinya.”(HR. Muslim).

Prinsip kemudahan dan mempermudah ini yang juga wajib diberlakukan dalam mengurus masyarakat dan negara. Pada saat Rasulullah saw menerima pengaduan masyarakat tentang Muadz bin Jabal ra., yang terlalu panjang mengimami shalat, Beliau menasihati Muadz.

أَتُرِيدُ أَنْ تَكُونَ فَتَّانًا يَا مُعَاذُ إِذَا أَمَمْتَ النَّاسَ فَاقْرَأْ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَاقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى
“Apakah engkau hendak membuat fitnah, wahai Muadz? Apabila engkau mengimami orang-orang bacalah ‘wasy syamsyi wadl dluhaha’ dan ‘sabbihis ma rabbika al’ala’ …”(Muttafaq alayhi).

Bila dalam shalat saja seorang imam tidak boleh memberatkan makmum dengan bacaan yang panjang, bagaimana pula dalam urusan kemasyarakatan? Apakah pantas masyarakat yang sudah sulit kehidupan ekonominya masih dibebani dengan aneka pajak? Biaya pendidikan dan kesehatan yang selangit, sementara mencari pekerjaan saja susah?

Bukan rahasia lagi bahwa di negeri ini segala sesuatu seolah menjadi serba susah dan harus mengeluarkan biaya. Bersalin, mengurus akte kelahiran bahkan mengurus pemakaman saja pun harus bayar. Inilah perbedaan sistem pemerintahan Islam dibandingan dengan sistem pemerintahan  yang lain termasuk demokrasi. Tidakkan mereka takut dengan ancaman Allah Ta’ala:


مَنْ ضَارَّ ضَارَّ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ شَاقَّ شَاقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ 
“Siapa yang membuat bahaya, maka Allah akan susahkan (hidupnya) karena perbuatannya, dan siapa yang mempersulit maka Allah akan mempersulitnya.”(HR Turmudzi).

Nabi saw. juga mengingatkan para pejabat untuk tidak menakut-nakuti rakyat. Mereka malah harus menggembirakan rakyat dengan menjalankan hukum yang adil sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW. Karena ketertiban dan keamanan tidaklah didapat dengan jalan kekerasan atau tangan besi, melainkan dengan menjalankan hukum yang fair, sesuai asasnya. Sebaliknya, tangan besi, mengancam, intimidasi dan menyakiti rakyat hanya akan berujung pada kehinaan bagi pelakunya. Nabi saw. bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ
“Dua golongan dari penghuni neraka yang aku belum pernah melihat keduanya; kaum yang membawa cemeti seperti ekor sapi untuk mencambuk orang-orang …”(HR. Muslim).

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

 
back to top