Rabu, 12 September 2012

Pedagang-Pedagang Yang Diberkahi Allah-1

Allah SWT. Berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu.” (QS. an-Nisa: 29).

Perdagangan adalah aktifitas perekonomian yang telah berjalan hampir setua umur manusia. Banyak orang dikaruniai rizki lewat jalur perdagangan. Allah SWT. telah menghalalkan jual beli sebagai salah satu cara untuk mengembangkan harta perniagaan. FirmanNya:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Dan Allah menghalalkan jual beli.”(QS. al-Baqarah: 275)

Yang harus dipahami oleh kaum muslimin pada hari ini adalah hukum syara’ dalam perdagangan. Hal ini adalah perkara pokok dalam perdagangan, bukan sekedar memberikan perlindungan pada konsumen, tetapi agar perdagangan menjadi amal soleh yang mendatangkan barakah serta keuntungan di dunia maupun di akhirat.

Ketika umat Islam masih memiliki institusi pelindung yakni khilafah, para pedagang dan pembeli sama-sama dituntut agar memahami hukum syara tentang perdagangan. Khususnya para pedagang, Rasulullah saw. dan para khalifah setelah Beliau senantiasa mengawasi perilaku mereka dan komoditi perdagangannya.

Imam muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah mendapati pedagang yang mencampur makanan yang kering dengan yang basah. Lalu Beliau bertanya, “Apakah ini wahai, pemilik makanan?” Ia menjawab, “Air hujan menimpanya, ya Rasulullah.” Rasulullah kemudian menegurnya, “Mengapa tidak engkau simpan makanan ini di atas agar pembeli bisa melihatnya. Siapa yang menipu bukan golonganku.”

Oleh karena itu para pedagang wajib ain untuk mengetahui hukum syara’ tentang usaha yang dijalankannya. Ali bin Abi Thalib Radhiallaahu anhu berkata, “Seorang pedagang jika tidak mengetahui hukum, maka akan terjerumus ke dalam riba, tenggelam dan tenggelam” Sedangkan Umar bin Khatthab Radhiallaahu anhu mengatakan, “Siapa yang tidak faham masalah agama janganlah sekali-kali berdagang di pasar kami.”



Allah SWT. dan Nabi saw. memuji para pedagang yang paham hukum agama dan menjalankannya dalam perniagaan. Allah pun menjanjikan balasan surga bagi para pedagang yang jujur dan terpercaya. Sabda Nabi sa.:
التَّاجِرُ الصَّدُوقُ الْأَمِينُ مَعَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
“Pedagang yang jujur dan terpercaya bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada.”(HR. Tirmidzi).

Nabi saw. pernah keluar dan menyeru para pedagang:

يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ ، فَاسْتَجَابُوا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَفَعُوا أَعْنَاقَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ إلَيْهِ ، فَقَالَ : إنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إلَّا مَنْ اتَّقَى وَبَرَّ وَصَدَقَ

“Wahai para pedagang!” Maka mereka mendongak menunggu apa yang akan beliau katakan, dan beliau berkata: “Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada Hari Kiamat sebagai pelaku kejahatan yang berdosa (fujaar) kecuali mereka yang takut kepada Allah, yang benar dan jujur.”(HR Tirmidzi).

Pedagang yang diberkahi Allah adalah pedagang yang melandasi niat usahanya dengan takwa. Dari ketakwaan akan berbuah kejujuran dan kebenaran dalam perdagangan. Bukan sekedar semangat profit oriented, mencari keuntungan semata. Tapi berdagang menjadi salah satu amal yang bisa mendatangkan pahala, selain juga usaha yang mendatangkan penghasilan.

Di masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. ada seorang gadis penjual susu yang menolak perintah ibunya untuk mengoplos susu dengan air, agar keuntungan berlipat. Gadis ini menolak karena takut akan pengawasan dari Allah Ta’ala.

Sayang, semenjak ketiadaan khilafah, dan umat Islam banyak mengabaikan hukum Islam, masuklah cara-cara perdagangan ala kapitalisme. Demi keuntungan yang besar, mereka mengorbankan hukum halal-haram. Mengabaikan kepentingan pembeli dan masyarakat.

Banyak pedagang yang berangkat ke pasar hanya sekedar mencari laba sebanyak-banyaknya. Prinsip dengan modal sekecil-kecilnya, mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, digunakan untuk menghalalkan segala cara. Mengoplos barang kualitas buruk dengan yang baik, mengurangi sukatan/takaran, membagus-baguskan barang  yang buruk, dsb.

Tidak sedikit pula produsen maupun pedagang yang tidak lagi memikirkan keselamatan dan kesehatan konsumen. Komoditi perdagangan seperti makanan atau minuman diberi bahan-bahan yang membahayakan pembelinya, bahkan tidak jarang menyebabkan kematian. Inilah pola perdagangan ala kapitalisme yang mengutamakan keuntungan, bukan keberkahan.

Kita berlindung kepada Allah dari para pedagang yang curang, sembari berharap agar Allah memberi taufiq wal hidayat kepada para pedagang agar mereka menjadi pedagang yang jujur,  yang diberkahi Allah Ta’ala.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

 
back to top