Rabu, 26 September 2012

Tidak Mengkhianati Allah & RasulNya


يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”(QS. al-Anfal: 27).

Selain berkewajiban mencintai Allah dan RasulNya,  seorang mukmin juga memiliki sifat senantiasa taat kepada keduanya. Tiada kecintaan tanpa kepatuhan. Para sahabat telah memberikan keteladanan dalam masalah ketaatan, dengan keteladanan yang luar biasa. Bahkan mereka meletakkan taat kepada Allah dan RasulNya di atas ketaatan segenap manusia, sekalipun itu adalah ibu dan ayahnya.

Sejarah mencatat betapa tingginya ketaatan Saad bin Abi Waqqash ra. terhadap Allah dan RasulNya, bahkan melebihi kecintaan dan ketaatan kepada ibu kandungnya yang selama ini ditaati dan dicintai. Ketika ibunya marah karena Saad telah menjadi muslim, ia memaksa anaknya untuk murtad. Salah satunya sang ibu melakukan mogok makan berhari-hari agar Saad merasa iba kepadanya dan mau keluar dari dienul Islam.

Akan tetapi Saad bin Abi Waqqash tetap setia kepada Allah dan RasulNya. Hingga terlontar ucapan yang dikenang dalam sejarah:

“Duhai bunda, meskipun engkau memiliki 100 nyawa dan keluar satu demi satu aku tetap tidak akan keluar dari agamaku, maka terserah dirimu makan atau tidak makan.”

Sikap taat dan berat hati mengkhianati Allah dan RasulNya juga ditunjukkan oleh Abu Lubabah bin Abdul Mundzir ra. Ketika pasukan kaum muslimin memerangi Yahudi Bani Quraidhah yang telah mengkhianati perjanjian dengan Rasulullah saw., Abu Lubabah diutus oleh Nabi saw. untuk  mendatangi mereka. Kepadanya Rasulullah berpesan agar merahasiakan keputusan Beliau untuk menghukum mati laki-laki dewasa Yahudi sebagai hukuman atas pengkhianatan mereka.

Saat Abu Lubabah masuk ke dalam benteng Yahudi Bani Quraidzah, ia dikerumuni anak-anak dan wanita, sehingga ia merasa kasihan. Lalu orang-orang Yahudi lalu mengerumuni Abu Lubabah dan bertanya, “Wahai Abu Lubabah, bagaimana pendapatmu kalau kita tunduk kepada hukum Muhammad?” Abu Lubabah menjawab, “Ya,” sambil memberi isyarat dengan tangan ke tenggorokannya, yang menandakan mereka akan dibunuh sebagai hukuman.

Seketika Abu Lubabah sadar bahwa ia telah mengkhianati amanah dari Allah dan RasulNya. “Demi Allah, kedua kakiku belum bergeser dari tempatku hingga aku sadar aku telah mengkhianati Allah dan Rasulullah saw.” Ia pun pergi menuju mesjid Nabawi dan mengikat diri pada salah satu tiangnya.

Abu Lubabah berkata, “Aku tidak beranjak dari tempatku ini hingga Allah menerima taubatku atas perbuatanku. Aku berjanji kepada Allah untuk tidak menginjakkan kaki di Bani Quraidhah untuk selama-lamanya dan aku tidak perlihatkan selama-lamanya kepada negeri yang di dalamnya aku pernah mengkhianati Allah dan RasulNya.”

Ketika kabar ini sampai kepada Rasulullah saw., beliau berucap, “Seandainya ia datang kepadaku, aku pasti memintakan ampunan untuknya. Tapi jika ia telah berbuat seperti itu, aku tidak melepaskannya hingga Allah menerima taubatnya.”

Demikianlah Abu Lubabah terikat di tiang mesjid selama enam hari hari. Ia hanya melepaskan ikatan untuk menunaikan shalat. Selama sembilan hari ia kepayahan dan jatuh pingsan, sampai Allah memberitahukan kepada Nabi saw. bahwa taubat Abu Lubabah diterima.

Ummu Salamah berkata bahwa menjelang subuh aku dengar Rasulullah saw. tertawa. Ketika Ummu Salamah menanyakan penyebab tertawanya, Beliau menjawab, “Karena taubat Abu Lubabah diterima Allah.” Pengampunan itu turun dalam ayat berikut:

وَءَاخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَءَاخَرَ سَيِّئًا عَسَى اللَّهُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka mencampur baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. at-Taubah: 102).

Kabar ini lalu disampaikan kepada Abu Lubabah. Para sahabat pun mengerumuninya. Akan tetapi Abu Lubabah ra. telah bernazar bahwa ikatannya hanya mau dilepas oleh Rasulullah saw. Ia pun bernazar untuk menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah.

Nabi saw. lalu datang dan melepaskan ikatan Abu Lubabah ra. Adapun nazar infaknya maka Nabi saw. memintanya untuk mengeluarkan sepertiga dari hartanya saja, tidak seluruhnya.

Inilah keteladanan Abu Lubabah dalam menepati amanah dari Allah dan RasulNya. Dan demikianlah cara beliau bertanggung jawab atas pengkhianatan yang dilakukannya. Semoga Allah merahmatinya.

Lalu bagaimana dengan kaum muslimin hari ini yang banyak melanggar amanah dari Allah dan RasulNya? Mengabaikan ketaatan pada keduanya? Bahkan sengaja menelantarkan perintah dan larangan dari Allah dan Rasulullah saw.?

Jika Abu Lubabah yang hanya melanggar satu amanah saja telah demikian merasa bersalah, bahkan bernazar demikian berat di hadapan Allah untuk menebus dosanya? Mengapa sekarang banyak kaum muslimin yang merasa aman dan tenang tatkala mengkhianati petunjuk dari Allah dan RasulNya?

Saatnya kita melakukan introspeksi diri. Meluruskan keimanan kita agar senantiasa taat pada keduanya.

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”(QS. al-Ahzab: 36).
Baca Selengkapnya »»  

Penanganan Anak-Anak Terlantar

Setiap bangsa pastinya memperhatikan pentingnya pembinaan terhadap anak-anak dan generasi muda. Dari merekalah kelak akan muncul penerus dan kepemimpinan sebuah bangsa. Dalam sebuah ungkapan hikmah dikatakan “sibyanul yaum, rijalul ghad – anak-anak hari ini, pemuda di hari esok.”

Umat Islam pun membutuhkan lingkungan, pendidikan dan kesehatan yang baik anak-anak mereka. Dari kondisi yang baik maka akan mudah dimunculkan para pemuda yang baik pula. Sebaliknya, bila anak-anak kaum muslimin tumbuh di lingkungan yang tidak baik, tidak mendapatkan pendidikan yang layak,  juga tidak mendapatkan pemenuhan kebutuhan pokok yang baik, itu adalah ancaman di masa depan bagi umat ini.

Seyogyanya kita patut prihatin bila memperhatikan keadaan umat ini. Menurut catatan Menurut data Departemen Kesehatan (2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar 3,5 juta anak menderita gizi kurang, dan 1,5 juta anak menderita gizi buruk,1 serta menurut WFP 150.000 di antaranya  marasmus-kwashiorkor.

Sedangkan jumlah anak jalanan pun meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan informasi dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial (2008), jumlah anak jalanan sebesar 232.984 jiwa. Jumlah tersebut cenderung meningkat bila dibandingkan tahun 2007 sebanyak 104.000 anak dan tahun 2006 sebanyak 144.000 anak.

Orang tua jelas adalah pihak pertama yang bertanggung jawab atas pembinaan dan nafkah anak-anak mereka. Di tangan orang tualah nasib anak-anak kaum muslimin ditentukan dunia dan akhirat. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”(QS. at-Tahrim: 6).

Ironinya, banyak orang tua yang sebenarnya mampu mendidik anak-anak mereka justru melepaskan tanggung jawab pengasuhan ini kepada orang lain. Mereka menyerahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah atau pondok pesantren, tanpa mau bekerja keras lagi untuk mendidiknya dengan pendidikan agama. Mereka melupakan peran pokok orang tua sebagai pendidik bagi anak-anak mereka sendiri.

Lebih ironi lagi ada orang tua muslim yang sibuk mendidik anak orang lain apakah sebagai guru atau ustadz/ustadzah tapi melepas pengasuhan anak-anak mereka kepada orang lain. Hal ini seperti ini persis gambaran di AS, ketika banyak wanita keluar rumah untuk mengurus anak orang lain sebagai baby sitter, sedangkan anak mereka diasuh oleh baby sitter yang lain.
           
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”(QS. al-Anfal: 28).

Akan tetapi pendidikan anak bukan saja tanggung jawab orang tua, melainkan juga tanggung jawab negara. Islam menetapkan kepala negara harus mengurusi kepentingan seluruh rakyatnya, termasuk anak-anak kaum muslimin dan masyarakat secara umum. Nabi saw. bersabda:

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya.”(HR. Bukhari).

Di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab ra., anak-anak diberikan subsidi oleh khilafah bahkan semenjak mereka masih dalam masa penyusuan.

Selain itu, khilafah juga bertanggung jawab menyediakan sarana pendidikan yang terbaik dan cuma-cuma bagi masyarakat. Demikian pula kesehatan mereka pun menjadi tanggungan negara. Hal ini telah dicontohkan sejak jaman Nabi SAW. Bagi keluarga-keluarga miskin mereka pun mendapat bagian dari Baytul Mal di antaranya pos zakat dan juga bantuan lainnya.

Perhatian dan pelayanan negara terhadap rakyatnya ini harus berjalan secara aktif. Dalam sejarah kita bisa membaca bagaimana Amirul Mukminin ra. sering berkeliling kota Madinah untuk mengetahui keadaan rakyatnya. Bahkan diriwayatkan bahwa Beliau dan istrinya pernah membantu warganya yang akan melahirkan. Subhanallah! Inilah bentuk pelayanan negara yang terbaik bagi rakyat.

Akan tetapi dalam sistem demokrasi yang memberlakukan kapitalisme, pelayanan kepada rakyat diberikan dalam ukuran yang amat minim. Jangankan subsidi, membantu memberikan lapangan kerja bagi masyarakat pun minim. Sehingga banyak orang tua yang tidak mampu menafkahi anak-anak mereka karena terjerat kemiskinan.

Demikian pula fasilitas pendidikan dan kesehatan yang berkualitas hanya bisa dijangkau oleh mereka yang mampu saja. Sedangkan yang tidak mampu hanya bisa menikmati pelayanan ala kadarnya atau tidak dilayani sama sekali.

Inilah prinsip survival of the fittest – yang kuat dialah yang menang –. Prinsip pengurusan rakyat seperti ini telah menelantarkan ratusan ribu anak-anak kaum muslimin. Ada di antara mereka yang mati sebelum lahir karena ibunya menderita gizi buruk, ada yang cacat, ada yang lahir tapi menderita, dan ada pula yang terlantar di jalanan lalu menjadi pelaku kriminal. Maka bagaimana bangsa ini bisa selamat bila generasi penerus bangsanya tidak diurus dengan cara yang Islami?

وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِنْدَنَا زُلْفَى إِلَّا مَنْ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَئِكَ لَهُمْ جَزَاءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا وَهُمْ فِي الْغُرُفَاتِ ءَامِنُونَ

“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga).”(QS. Saba: 37).

لَنْ تَنْفَعَكُمْ أَرْحَامُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَفْصِلُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Karib kerabat dan anak-anakmu sekali-kali tiada bermanfa`at bagimu pada hari Kiamat. Dia akan memisahkan antara kamu. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(QS. al-Mumtahanah: 3).

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.”(QS. al-Munafiqun: 9).
Baca Selengkapnya »»  

Selasa, 25 September 2012

Keutamaan Menangis Karena Allah

 Allah berfirman dalam surat At-Taubah:
فَلْيَضْحَكُوا قَلِيلًا وَلْيَبْكُوا كَثِيرًا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.”(QS. at-Taubah: 82).

Selayaknya manusia, terkadang merasa perlu dan harus menitikkan air mata. Bisa karena rasa takut, penyesalan atau kesedihan karena kehilangan sesuatu yang dicintai atau sesuatu yang berharga. Adanya tangisan adalah bagian dari fitrah yang dilimpahkan Allah kepada setiap insan. Ketika Nabi Yaqub as. mendapat kabar (bohong) dari putra-putranya bahwa Yusuf as. dimangsa serigala Beliau menangis hingga kedua matanya menjadi buta.

“Dan Ya`qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: "Aduhai duka citaku terhadap Yusuf", dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya (terhadap anak-anaknya).”(QS. Yusuf: 84).

Akan tetapi janganlah asal menangis. Apalagi menangisi sesuatu yang tidak layak untuk ditangisi. Insan sedunia – termasuk sebagian umat Islam – pernah menangisi kematian Lady Diana. Padahal saat itu dia tewas ketika sedang berkencan dengan pacarnya. Dunia juga pernah menangisi kematian Michael Jackson yang dijuluki King of Pop. Tapi sedikit kaum muslimin yang menangisi pembantaian saudara-saudara mereka di Irak, Afghanistan, Palestina, dsb.

Jangan meneteskan air mata untuk sesuatu yang percuma. Tapi jatuhkanlah air mata untuk sesuatu yang mendatangkan kemuliaan bagi kita. Oleh karenanya, menangislah untuk sesuatu yang tepat, yang mengundang ridlo dari Allah Ta’ala. Jangan untuk sesuatu yang sia-sia apalagi mendatangkan murkaNya.

Umat Islam adalah umat yang serius dan menyedikitkan canda tawa. Kesenangan di dunia bisa berganti menjadi penderitaan abadi kelak di Hari Akhir.  Anas bin Malik ra. pernah bersaksi, “Pada suatu hari Rasulullah saw. berkhutbah, belum pernah saya mendengar khutbah seperti itu, lalu beliau bersabda dalam khutbahnya;
لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا
“Seandainya kalian tahu apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” Lalu Anas melanjutkan bahwa para sahabat menutup mukanya sambil menangis terisak-isak. (HR. Muttafaq alayh).

Ada beberapa hal yang dalam pandangan Islam, seorang muslim layak untuk mencucurkan air mata.
1.       Ketika membaca dan mendengarkan al-Quran dan memuji Allah SWT. Firman Allah:

قُلْ ءَامِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا﴿107﴾وَيَقُولُونَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُولًا﴿108﴾وَيَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ يَبْكُونَ وَيَزِيدُهُمْ خُشُوعًا﴿109﴾
“Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata: "Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi". Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu`.”(QS. al-Isra: 107-109).

2.       Mengingat dosa dan takut kepada Allah SWT. Sabda Nabi saw.:

لَا يَلِجُ النَّارَ رَجُلٌ بَكَى مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ حَتَّى يَعُودَ اللَّبَنُ فِي الضَّرْعِ
“Tidak akan tersentuh api neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah sampai ada susu yang kembali masuk ke dalam payudara.”(HR. Tirmidzi).

Seorang muslim harus merasa menyesal saat telah berbuat dosa. Tidak pandang apakah itu dosa besar ataukah kecil. Ibnu Abbas ra. berkata, “Siapa yang tertawa saat berbuat maksiat, maka akan bercucuran tangis di neraka.”

3.       Saat mendapat musibah, seperti kematian orang yang dikasihi. Imam Muslim meriwayatkan bahwa suatu ketika salah seorang putra Rasulullah saw. sakit keras. Kemudian beliau memangkunya sedangkan nafas anak itu telah tersengal-sengal. Maka jatuhlah air mata Rasulullah saw. membasahi pipi. Sahabat beliau, Sa’ad bin Ubadah ra. yang menyaksikan hal itu bertanya, “Apakah air mata ini (mengapakah engkau menangis sedang engkau melarang meratap)?” Rasulullah saw. menjawab, “Air mata itu bukti rahmat yang telah diletakkan Allah dalam hati hambaNya. Sesungguhnya Allah akan mengasihi hamba-hambaNya yang berkasih sayang pada sesamanya.”

4.       Saat melewati kuburan orang zalim dan memasuki daerah yang dibinasakan Allah dengan azabNya. Ibnu Umar ra. berkata; ketika perjalanan Rasulullah saw. dengan para sahabatnya tiba di daerah kaum Tsamud maka Rasulullah saw. bersabda:

لَا تَدْخُلُوا عَلَى هَؤُلَاءِ الْمُعَذَّبِينَ إِلَّا أَنْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا بَاكِينَ فَلَا تَدْخُلُوا عَلَيْهِمْ لَا يُصِيبُكُمْ مَا أَصَابَهُمْ
“Janganlah kamu masuk ke daerah yang diazab ini kecuali jika kamu menangis, kalau kamu tidak dapat menangis lebih baik jangan masuk ke daerah mereka, jangan sampai kamu terkena apa yang menimpa mereka.”(Muttafaq alayh).

Demikianlah sebagian dari menangis yang dianjurkan agama. Jadikanlah air mata yang keluar dari mata kita mengandung pahala di sisi Allah SWT. bukan sekedar air mata yang tidak berguna.
Baca Selengkapnya »»  

Mempermudah Bukan Mempersulit

Saat Rasulullah saw. mengutus Muadz bin Jabal dan Abi Musa Al Asy’ari ra sebagai wali, Beliau berpesan:

“Kalian berdua harus bisa menyampaikan kabar yang menyenangkan, dan bukannya kabar yang menyedihkan. Kalian juga harus menyampaikan kabar gembira dan bukannya menjadikan mereka (rakyat) jera.” (H.R. Bukhari)

Ada etika kekuasaan yang telah ditanamkan oleh Islam bagi para penguasa. Selain menempatkan para penguasa sebagai pihak yang harus melindungi dan mengayomi rakyat, Islam juga mengharuskan para penguasa untuk selalu mempermudah urusan rakyat serta menciptakan kebahagiaan bagi mereka dalam berbagai urusan.

Hal ini memang karakter syariat Islam yang memberikan kemudahan dan praktis bagi umat manusia. Firman Allah Ta’ala:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”(QS. al-Baqarah: 185).

Aisyah ra. meriwayatkan bahwa Nabi SAW. senantiasa mengambil pilihan termudah jika dihadapkan pada pilihan-pilihan  yang ada.

مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أَمْرَيْنِ إِلَّا اخْتَارَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ
“Tidaklah Nabi SAW. memilih di antara dua perkara melainkan memilih yang paling mudah di antara keduanya selama bukan perkara dosa, dan jika terdapat dosa maka beliau menjauhkan manusia darinya.”(HR. Muslim).

Prinsip kemudahan dan mempermudah ini yang juga wajib diberlakukan dalam mengurus masyarakat dan negara. Pada saat Rasulullah saw menerima pengaduan masyarakat tentang Muadz bin Jabal ra., yang terlalu panjang mengimami shalat, Beliau menasihati Muadz.

أَتُرِيدُ أَنْ تَكُونَ فَتَّانًا يَا مُعَاذُ إِذَا أَمَمْتَ النَّاسَ فَاقْرَأْ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى وَاقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى
“Apakah engkau hendak membuat fitnah, wahai Muadz? Apabila engkau mengimami orang-orang bacalah ‘wasy syamsyi wadl dluhaha’ dan ‘sabbihis ma rabbika al’ala’ …”(Muttafaq alayhi).

Bila dalam shalat saja seorang imam tidak boleh memberatkan makmum dengan bacaan yang panjang, bagaimana pula dalam urusan kemasyarakatan? Apakah pantas masyarakat yang sudah sulit kehidupan ekonominya masih dibebani dengan aneka pajak? Biaya pendidikan dan kesehatan yang selangit, sementara mencari pekerjaan saja susah?

Bukan rahasia lagi bahwa di negeri ini segala sesuatu seolah menjadi serba susah dan harus mengeluarkan biaya. Bersalin, mengurus akte kelahiran bahkan mengurus pemakaman saja pun harus bayar. Inilah perbedaan sistem pemerintahan Islam dibandingan dengan sistem pemerintahan  yang lain termasuk demokrasi. Tidakkan mereka takut dengan ancaman Allah Ta’ala:


مَنْ ضَارَّ ضَارَّ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ شَاقَّ شَاقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ 
“Siapa yang membuat bahaya, maka Allah akan susahkan (hidupnya) karena perbuatannya, dan siapa yang mempersulit maka Allah akan mempersulitnya.”(HR Turmudzi).

Nabi saw. juga mengingatkan para pejabat untuk tidak menakut-nakuti rakyat. Mereka malah harus menggembirakan rakyat dengan menjalankan hukum yang adil sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW. Karena ketertiban dan keamanan tidaklah didapat dengan jalan kekerasan atau tangan besi, melainkan dengan menjalankan hukum yang fair, sesuai asasnya. Sebaliknya, tangan besi, mengancam, intimidasi dan menyakiti rakyat hanya akan berujung pada kehinaan bagi pelakunya. Nabi saw. bersabda:

صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ
“Dua golongan dari penghuni neraka yang aku belum pernah melihat keduanya; kaum yang membawa cemeti seperti ekor sapi untuk mencambuk orang-orang …”(HR. Muslim).
Baca Selengkapnya »»  

Minggu, 23 September 2012

Tuntunan Iedul Adha

Iedul Qurban adalah salah satu hari raya di antara dua hari raya kaum muslimin, dan merupakan rahmat Allah Subhanahu wa taala bagi ummat Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Hal ini diterangkan dalam hadits Anas radiyallahu anhu, beliau berkata: Nabi shallallhu alaihi wa sallam datang, sedangkan penduduk Madinah di masa jahiliyyah memiliki dua hari raya yang mereka bersuka ria padanya (tahun baru dan hari pemuda (aunul mabud), maka (beliau) bersabda:

"Aku datang kepada kalian, sedangkan kalian memiliki dua hari raya yang kalian bersuka ria padanya di masa jahiliyyah, kemudian Allah menggantikan untuk kalian du a hari raya yang lebih baik dari keduanya; hari Iedul Qurban dan hari Iedul Fitri." (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasai dan Al-Baghawi, shahih, lihat Ahkamul Iedain hal. 8).

Selain itu, pada Hari Raya Qurban terdapat ibadah yang besar pahalanya di sisi Allah, yaitu shalat Ied dan menyembelih hewan kurban. Insyallah pada kesempatan kali ini kami akan menjelaskan beberapa hukum-hukum yang berkaitan dengan Iedul Qurban, agar kita bisa melaksanakan ibadah besar ini dengan disertai ilmu.

1. Hukum Menyembelih kurban

Para Ulama berselisih pendapat tentang hukumnya. Sedangkan menurut pendapat yang kuat hukumnya adalah wajib bagi yang memiliki kemampuan ( Ahkamul Iedain hal. 26). Di antara hadits yang dijadikan dalil bagi ulama yang mewajibkan adalah:

"Dari Abi Hurairah radliyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Barang siapa memiliki kelapangan (kemampuan) kemudian tidak berqurban, maka janganlah dia mendekati tempat shalat Ied kami." (HR. Ahmad, Ibnu Majah,Ad-Daruqutni, Al-Hakim, sanadnya hasan, lihat Ahkamul Iedain hal. 26).

Dari hadits di atas diterangkan bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam melarang untuk mendekati tempat shalat Ied bagi orang yang memiliki kemampuan akan tetapi tidak berqurban. Hal itu menunjukkan bahwasanya dia telah meninggalkan suatu kewajiban yang seakan-akan tidak ada manfaatnya, bertaqarrub kepada Allah dengan dia meninggalkan kewajiban itu ( Subulus Salam 4/169).

2. Waktu Menyembelih

Hewan kurban disembelih setelah selesai shalat Ied. Dalilnya:
Dari Barra bin Azib radiallahuanhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya perkara yang pertama kita mulai pada hari ini adalah kita shalat kemudian menyembelih. Maka barang siapa yang melakukan hal itu, dia telah mendapatkan sunnah kami. Dan barang siapa yang telah menyembelih (sebelum shalat pent), maka sesungguhnya sembelihan itu adalah daging yang diperuntukkan bagi keluarganya, bukan termasuk hewan kurban sedikitpun." (HR. Muslim no. 1961).

Diperbolehkan untuk mengakhirkan penyembelihan, yaitu menyembelih pada hari kedua dan ketiga setelah hari Ied. Sebagaimana diterangkan dalam hadits:

"Dari Nabi shallallahu alai wa sallam bahwasanya beliau bersabda: setiap hari tasyriq ada sembelihan." (HR. Ahmad 4/8 dari Jubair bin Muthim radiallahu anhu, dan dihasankan oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dalam Ahkamul iedain ).

Berkata Ibnul Qayyim: "(Kebolehan menyembelih di hari-hari tasyriq) adalah pendapat: Imam Ahmad, Malik, Abu Hanifah rahimahumullah ."

Imam Ahmad berkata: "Ini adalah pendapat lebih dari satu shahabat Muhammad shallallahu alai wa sallam, dan Al-Atsram menyebutkan diantaranya: Ibnu Umar, Ibnu Abas radiallahu anhum." (Zadul Maad 2/319).

3. Tempat Menyembelih

Dalam rangka menampakkan syiar Islam dan kaum muslimin,disunnahkan menyembelih di lapangan tempat shalat Ied. Dalilnya:

"Dari Ibnu Umar radliyallahu anhu dari Nabi shallallahu `alaihi wa sallam : bahwasanya beliau menyembelih (kibas dan unta) dilapangan Ied." (HR. Bukhari no. 5552 dengan Fathul Bari).

4. Larangan Memotong Rambut dan Kuku

Barang siapa hendak berqurban, tidak diperbolehkan bagi dia memotong rambut dan kukunya sedikitpun, setelah masuk tanggal 1 Dzulhijjah hingga shalat Ied. Dalilnya:

"Dari Ummu Salamah, bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Apabila kalian melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kalian hendak menyembelih, maka hendaknya dia menahan (yakni tidak memotong, pent) rambut dan kukunya." (HR. Muslim No. 1977).

Imam Nawawi berkata: "Maksud larangan tersebut adalah dilarang memotong kuku dengan gunting dan semacamnya, memotong ram¨but; baik gundul, memendekkan rambut,mencabutnya, membakarnya atau selain itu. Dan termasuk dalam hal ini, memotong bulu ketiak, kumis, kemaluan dan bulu lainnya yang ada di badan (Syarah Muslim 13/138)."

Berkata Ibnu Qudamah: "Siapa yang melanggar larangan tersebut hendaknya minta ampun kepada Allah dan tidak ada fidyah (tebusan) baginya, baik dilakukan sengaja atau lupa (Al-Mughni11/96)."

Dari keterangan di atas maka larangan tersebut menunjukkan haram. Demikian pendapat Said bin Musayyib, Rabiah, Ahmad, Ishaq, Daud dan sebagian Madzhab Syafiiyah. Dan hal itu dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar juz 5 hal. 112 dan Syaikh Ali hasan dalam Ahkamul iedain hal. 74).

5. Jenis Sembelihan

"Dari Jabir, berkata: Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallambersabda: Janganlah kalian menyembelih kecuali musinnah, akan tetapi jika kalian merasa berat hendaklah menyembelih Al-Jazaah(HR. Muslim 6/72 dan Abu Daud 2797).

Syaikh Al-Albani menerangkan:
- Musinnah yaitu jenis unta, sapi dan kambing atau kibas. Umur kambing adalah ketika masuk tahun ketiga, sedangkan unta, masuk tahun keenam.
- Al-jazaah yaitu kambing atau kibas yang berumur setahun pas menurut pendapat jumhur ulama (Silsilah Ad-Dlaifah 1/160).

Dan yang terbaik dari jenis sembelihan tadi adalah kibas jantan bertanduk bagus, warna putih bercampur hitam di sekitar mata dan kakinya. Yang demikian karena termasuk sifat-sifat yang disunnahkan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam dan beliau menyembelih hewan yang memiliki sifat tersebut.

"Dari Aisyah bahwasanya Rasulullah sallalahu alaihi wa sallam memerintahkan menyembelih kibas yang bertanduk baik, dan sekitar kaki, perut dan matanya berwarna hitam. Kemudian didatangkan kepada beliau, lalu disembelih." (HR. Abu Daud, dishahihkan Syaikh al-Albani dalam Shahih Abu Daud no. 2423).

6. Hewan kurban Tidak Cacat

Termasuk tuntunan Nabi shallalahu alaihi wa sallam yaitu memilih hewan yang selamat dari cacat dan memilih yang terbaik. Beliau melarang menyembelih hewan yang terputus telinganya, terpecah tanduknya, matanya pece, terputus bagian depan atau belakang telinganya, terbelah atau terkoyak telinganya. Adapun kibas yang dikebiri boleh untuk disembelih. ( Ahkamul Iedain hal. 75)

7. Boleh Berserikat

Satu ekor hewan kurban boleh diniatkan pahalanya untuk dirinya dan keluarganya meskipun dalam jumlah yang banyak.
Dalilnya:"Berkata Atha bin Yasar: Aku bertanya kepada Abu Ayyub Al-Anshari, bagaimana sifat sembelihan di masa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam , beliau menjawab: jika seseorang berkurban seekor kambing, maka untuk dia dan keluarganya. Kemudian mereka makan dan memberi makan dari kurban tersebut." (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Malik, Al-Baihaqi dan sanadnya hasan, lihat Ahkamul Iedain hal. 76).

"Dari Ibnu Abbas, dia berkata: Kami bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan kemudian tiba hari Ied. Maka kami berserikat tujuh orang pada seekor sapi dan sepuluh orang pada seekor unta." (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1213).

9. Cara Menyembelih

Menyembelih dengan pisau yang tajam, mengucapkan bismillah wallahu akbar, membaringkan sembelihan pada sisi kirinya karena yang demikian mudah bagi si penyembelih memegang pisau dengan tangan kanannya, dan menahan lehernya dengan tangan kiri. Dalil¨nya:

"Dari Anas bin Malik, dia berkata: Bahwasanya Nabi shallallahu `alaihi wa sallam menyembelih dua ekor kibasnya yang bagus dan bertanduk. Beliau mengucapkan basmallah dan takbir dan meletakkan kakinya di samping lehernya."(HR. Bukhari, Muslim dan lainnya).

Dan disunnahkan bagi yang berkorban, memotong sendiri sembelihannya atau mewakilkan kepada orang lain ( Ahkamul Iedain hal. 77).

10. Membagikan Daging kurban

Bagi yang menyembelih disunnahkan makan daging qurbannya, menghadiahkan karib kerabatnya, bershadaqah pada fakir miskin, dan menyimpannya untuk perbekalan lebih dari 3 hari. Nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

"Makanlah, simpanlah untuk perbekalan dan bershadaqahlah."(HR.Bukhari Muslim).

Daging sembelihan, kulitnya, rambutnya dan yang bermanfaat dari kurban tersebut tidak boleh diperjualbelikan menurut pendapat jumhur ulama, dan seorang tukang sembelih tidak mendapatkan daging kurban. Tetapi yang dia dapatkan hanyalah upah dari yang berkurban. Dalilnya:

"Dari Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhuma, dia berkata:
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam memerintahkan aku untuk menyembelih hewan kurbannya dan membagi-bagi dagingnya, kulitnya, dan alat-alat untuk melindungi tubuhnya, dan tidak memberi tukang potong sedikitpun dari kurban tersebut." (HR. Bukhari Muslim).

11. Bagi Yang Tidak Berkurban

Kaum muslimin yang tidak mampu untuk berkorban, mereka akan mendapatkan pahala seperti halnya orang yang berkorban dari umat Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam. Hal ini diterangkan dalam sebuah riwayat bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:

"Bismillah Wallahu Akbar, ini (kurban) dariku dan dari umatku yang tidak menyembelih." (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud no. 2436). Wallahu taala alam. Dikutip dari Majalah SALAFY
Baca Selengkapnya »»  

Pedagang-Pedagang Yang Diberkahi Allah-2

Imam al-Hakim meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. berkata, “Sesungguhnya para pedagang itu adalah pelaku perbuata keji.” Para sahabat sontak terkejut dan bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah menghalalkan jual beli?” Nabi saw. menjawab;

بَلَى ، وَلَكِنَّهُمْ يَحْلِفُونَ فَيَأْثَمُونَ وَيُحَدِّثُونَ فَيَكْذِبُونَ
“Benar, akan tetapi mereka bersumpah (paslu) maka mereka berdosa, mereka berkata-kata maka mereka berbohong.”

Menjadi pedagang memang kerap digoda untuk melipatgandakan keuntungan dengan cara-cara curang. Atau, ketika khawatir barang dagangan mereka tidak ada yang membeli maka mereka bersumpah palsu. Sering kita mendengar kalimat klise ‘barang ini kualitas no.1’, ‘sumpah, saya hanya mengambil keuntungan sedikit.’, dsb. Itu adalah bagian dari ‘kebiasaan’ para pedagang yang ingin melariskan barang dagangannya.

Kebiasaan inilah yang ditegur oleh Nabi saw. dengan mengatakan bahwa para pedagang itu pelaku perbuatan keji, manakala melakukan semua itu. Beliau menginginkan para pedagang untuk mencari keuntungan. Buat apa keuntungan berlipat tapi menghilangkan keberkahan dalam perdagangan. Rasulullah saw. bersabda:
الْحَلِفُ مُنَفِّقَةٌ لِلسِّلْعَةِ مُمْحِقَةٌ لِلْبَرَكَةِ
“Sumpah itu mendatangkan keuntungan (tetapi) menghapuskan berkah.”(HR. Bukhari).

Oleh karena itu Islam memberikan pedoman bagi para pedagang agar usaha yang mereka gulirkan mendatangkan untung lagi membawa berkah. Di antaranya yang disabdakan oleh Nabi saw.:        

إنَّ أَطْيَبَ الْكَسْبِ كَسْبُ التُّجَّارِ الَّذِينَ إذَا حَدَّثُوا لَمْ يَكْذِبُوا ، وَإِذَا ائْتُمِنُوا لَمْ يَخُونُوا ، وَإِذَا وَعَدُوا لَمْ يُخْلِفُوا ، وَإِذَا اشْتَرَوْا لَمْ يَذُمُّوا ، وَإِذَا بَاعُوا لَمْ يَمْدَحُوا ، وَإِذَا كَانَ عَلَيْهِمْ لَمْ يَمْطُلُوا ، وَإِذَا كَانَ لَهُمْ لَمْ يُعَسِّرُوا

Artinya: Dari Mu’adz bin Jabal, bahwa Rasulullah Saw bersabda; ”Sesungguhnya sebaik-baik usaha adalah usaha perdagangan yang apabila mereka berbicara tidak berdusta, jika berjanji tidak menyalahi, jika dipercaya tidak khianat, jika membeli tidak mencela produk, jika menjual tidak memuji-muji barang dagangan, jika berhutang tidak melambatkan pembayaran, jika memiliki piutang tidak mempersulit” (H.R.Baihaqi dan dikeluarkan oleh As-Ashbahani).

Tiga karakter pedagang yang baik di awal sebagaimana sabda Nabi, adalah lawan dari orang munafik; menjauhkan diri dari dusta, ingkar janji dan pengkhianatan. Apakah mau para pedagang dimasukkan ke dalam golongan kaum munafik? Sementara Allah telah berfirman:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرً
“Sesungguhnya orang munafik itu berada di kerak neraka dan tidak ada bagi mereka penolong.”(QS. an-Nisaa: 145).
           
Sifat kedua dan ketiga yang membawa keberkahan bagi pedagang adalah tidak mencela barang ketika membeli dan tidak memuji-muji saat menjualnya. Inilah tabiat umum yang seharusnya dijauhi seorang pedagang muslim. Godaan pedagang adalah ingin mendapatkan barang dagangan dengan harga semurah-murahnya. Lalu perilaku yang muncul adalah mencela barang tersebut dari petani, produsen atau penjual yang lain, agar harganya jatuh murah.

Tapi saat menjualnya ia ingin mendapatkan keuntungan yang besar, jadilah ia memuji-muji barang itu di depan konsumen, agar mau membelinya dan percaya bahwa barang itu memang bermutu.

Prinsip berikutnya yang membuat Allah memuliakan seorang pedagang adalah dalam urusan hutang piutang. Adakalanya jual beli dilakukan tidak secara tunai, melainkan dengan cara hutang-piutang, untuk itu para pedagang diminta memperhatikan hukum syara. Tabiat manusia adalah memperlambat pembayaran hutang ketika jatuh tempo. Banyak dalih dikeluarkan untuk menunda pembayarannya. Padahal Nabi saw. bersabda:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ
“Penundaan pembayaran hutang oleh orang kaya adalah kezaliman, dan jika seseorang di antara kamu terkena tipudaya orang kaya, hendaklah dia diperdaya pula.”(Muttafaq Alayh).

Tetapi jika pedagang menagih hutang selalu minta agar segera dibayar. Terkadang tanpa memandang kesulitan orang yang terlilit hutang tersebut. Karena itu Nabi saw. mengajarkan para pedagang agar bersikap sebaliknya, memberi kemudahan dan kesempatan pembayaran bagi orang yang berhutang pada mereka. Allah menjanjikan keberkahan dan ganjaran pahala yang besar bagi para pedagang yang melakukan hal tersebut. Sabda Nabi saw.:

مَنْ نَفَّسَ عَنْ غَرِيمِهِ أَوْ مَحَا عَنْهُ كَانَ فِي ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Siapa yang memberi nafas (keringanan) kepada orang yang berhutang kepadanya atau menghapus sebagian daripadanya akan tinggal dalam naungan arsy pada Hari Kiamat.”(HR. Ahmad).

Alangkah indahnya bila para pedagang muslim memperhatikan adab-adab perdagangan dalam Islam. Perdagangan mereka barakah, pembeli diuntungkan, dan perekonomian umat berjalan tanpa kezaliman.
Baca Selengkapnya »»  

Praktek Perdagangan Yang Dimurkai Allah


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu.” (QS. an-Nisa: 29).

Perdagangan (tijaroh) adalah salah satu usaha yang disahkan oleh Islam. Nilai yang terkandung di dalamnya adalah nilai materi (qimah madiyyah). Sah saja bagi seorang pedagang mendapatkan keuntungan yang diharapkan. Meski demikian ada beberapa praktik perdagangan yang terlarang dalam pandangan Islam. Berikut ini di antaranya;

1.       Menjual barang haram
Sebagian orang berdalih bahwa yang terlarang adalah mengkonsumi barang haram, bukan memperdagangkannya. Tidak ada hujjah untuk omongan ini selain hawa nafsu, karena Allah SWT. tatkala mengharamkan sesuatu maka Ia juga mengharamkan pemanfaatan dan perniagaannya. Nabi saw. bersabda:

لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ حُرِّمَتْ عَلَيْهِمُ الشُّحُومُ فَبَاعُوهَا وَأَكَلُوا أَثْمَانَهَا وَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِذَا حَرَّمَ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Allah melaknat orang Yahudi karena Ia telah mengharamkan atas mereka lemak tetapi mereka menjualbelikannya dan memakan harganya, sesungguhnya jika Allah SWT. mengharamkan memakan sesuatu maka Ia juga mengharamkan harganya.”(HR. Ahmad).

Beberapa komoditi yang secara jelas telah disebutkan dalam nash untuk diperjualbelikan di antaranya miras, bangkai, daging babi dan patung-patung berhala. Sabda Nabi saw.:

إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَالْأَصْنَامِ
“Sesungguhnya Allah dan RasulNya telah melarang jual beli miras, bangkai, babi dan berhala”(HR. Bukhari).

2.       Menjual barang dengan cara samar-samar
Islam menghendaki jual beli dilakukan secara transparan; jelas barangnya dan harganya. Penjual dan pembeli merasakan hubungan yang saling menguntungkan (mutual relationship). Haram bagi seorang penjual menawarkan barang dagangan yang belum diketahui oleh calon pembeli.

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

“Pedagang dan pembeli boleh tawar menawar (khiyar) selama belum berpisah; jika mereka berlaku jujur dan menjelaskan (spesifikasi komoditinya), maka mereka akan diberi barakah dalam perdagangannya itu, tetapi jika mereka berdusta dan menyembunyikan (spesifikasi komoditinya), barakah dagangannya akan terhapus.”(HR. Bukhari).

Praktik yang hari ini sering terjadi adalah seperti membeli ikan yang masih dalam kolam, membeli barang yang belum tiba dari pengiriman, dsb. Semuanya terlarang dalam pandangan agama.

3.       Mengurangi timbangan dan takaran
Di antara kebiasaan masyarakat jahiliyah sebelum Islam adalah para pedagannya kerap mengurangi takaran dan timbangan. Begitu Islam datang maka praktik curang ini diharamkan dengan tegas. Dengan alasan ingin mendapat keuntungan berlipat, pedagang tidak takut dan tidak malu mencurangi konsumen. Allah berfirman:

“Celakalah orang-orang yang mengurangi, apabila mereka itu menakar kepunyaan orang lain mereka memenuhinya, tetapi jika mereka menakarkan atau menimbang untuk orang lain mereka menguranginya.”(QS. al-Muthaffifin: 1-3).

4.       Menimbun barang dagangan
Agar laba besar bisa diraih, ada saja pedagang atau produsen yang menimbun barang dagangan. Ketika komoditi itu menjadi langka, konsumen kesulitan mencarinya, barulah mereka melepasnya ke pasar. Islam mengecam keras praktik ini dan Allah mengancam pelakunya dengan siksa yang keras.

الْجَالِبُ مَرْزُوقٌ وَالْمُحْتَكِرُ مَلْعُونٌ 
“Orang yang mendatangkan barang diberi rizki, penimbun barang dilaknat.”(HR. Ibnu Majah).

مَنِ احْتَكَرَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ طَعَامًا ضَرَبَهُ اللَّهُ بِالْجُذَامِ وَالْإِفْلَاسِ

“Siapa yang menimbun makanan niscaya Allah menimpakan kepadanya penyakit kusta dan kebangkrutan.”(HR. Ibnu Majah).

Semoga kaum muslimin menjadi orang yang senantiasa menjaga hukum-hukum Allah dalam segala hal, termasuk dalam perniagaan. Dan segera memiliki pemimpin yang mengawasi perniagaan dan menjaga kepentingan umat sesuai dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah saw.
Baca Selengkapnya »»  
 
back to top