Sabtu, 29 Desember 2012

Menjaga Harta Umat

Rasulullah Bersabda:

إِنِّي مِمَّا أَخَافُ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِي مَا يُفْتَحُ عَلَيْكُمْ مِنْ زَهْرَةِ الدُّنْيَا وَزِينَتِهَا

“Sesungguhnya di antara yang aku takutkan atas kalian sepeninggalku nanti ialah terbuka lebarnya kemewahan dan keindahan dunia ini kepadamu.”(HR. Bukhari).

Entah yang keberapa kali Indonesia berada di urutan atas daftar negara terkorup. Tentu saja hal ini memalukan sekaligus memilukan. Seperti tidak belajar dari pengalaman, korupsi seolah tak bisa dibasmi. Padahal sejumlah kebijakan dan organ fungsional telah dibuat. Kebijakan renumerasi penghasilan sampai dibentuknya KPK dan Satgas Anti Mafia Hukum. Tapi korupsi tak pernah berhenti.

Dulu ada logika bahwa korupsi terjadi karena penghasilan yang rendah. Tapi fakta menunjukkan mereka yang berpenghasilan tinggi justru yang paling banyak melakukan korupsi. Kasus yang terjadi di institusi pajak negeri ini salah satu bukti, bahwa gaji yang tinggi bukan penghalang seseorang melakukan tindak korupsi. Berarti persoalannya bukanlah pada tingkat penghasilan.
           
Lalu apa yang menjadi akar persoalan?

Jawabnya adalah mentalitas yang dibangun dari cara pandang seseorang. Ketika orang berniat menjadi pejabat untuk memperkaya diri maka langkah yang akan dilakukannya adalah mengeruk harta rakyat sebanyak-banyaknya.
Akan beda jika seseorang menjadi pejabat dengan landasan ingin beramal soleh dan melayani masyarakat karena Allah. Maka jabatan akan dipandang sebagai amanah, bukan kesempatan mengais rizki.

Niat itu akan tercermin dalam praktik menjalankan jabatannya. Syahdan suatu ketika Khalifah Umar bin Khaththab r.a. pulang dari menunaikan ibadah haji, lalu beliau bertanya kepada pembantunya, “Berapa banyak uang yang telah kita gunakan untuk menunaikan ibadah haji ini?” Pembantunya menjawab, “Delapan belas dinar, ya Amirul Mukminin.” Umar terperanjat dan berkata, “Celaka, kita sudah memperkosa harta Baitul Mal.”

Umar bin Khaththab bukanlah pemimpin yang gila harta, atau berpenampilan glamor. Ketika hari ini banyak pejabat bahkan ustadz yang mengedepankan penampilan – dengan alasan agar nampak berwibawa – Amirul Mukminin justru berangkat menuju Yerusalem untuk berunding dengan pimpinan kota Yerusalem, Pendeta Sophronius, dengan baju penuh 14 tambalan. Tapi dengan kesahajaannya Sophronius justru mempercayai sahabat Nabi ini.

Umar pernah berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di antara orang-orang Quraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.”
Kuatnya sikap khulafaur rasyidin dalam hal ini karena mereka beriman, akan ada pertanggung jawaban atas setiap penyimpangan yang dilakukan. Nabi saw. bersabda:

أَيُّمَارَا عٍ غَشَّ رَعِيَّتَهُ فَهُوَ فيِ النَّارِ
“Pemimpin yang menipu rakyatnya, tempatnya dalam neraka.”(HR. Thabari).

Mungkin ada sebagian orang yang berpendapat bahwa hal itu seperti itu hanya ada dalam kisah, tidak riil, dan tidak mungkin ada dalam kehidupan sekarang. Pendapat seperti ini adalah apologia. Sekedar mencari pembenaran atas kelemahan iman seseorang.

Kaum muslimin di Indonesia pernah memiliki ulama, pejuang dan pemimpin yang bersahaja. Beliau adalah M Natsir. Indonesianis George McTurman Kahin pada tahun 1948 tengah berada di Yogyakarta, Ibukota Republik yang masih muda. Satu hari dia diundang datang dalam suatu acara yang dihadiri para pejabat negara. Setibanya di tempat acara, Kahin menyalami satu demi satu para pejabat yang ada. Tibalah Kahin pada seorang lelaki berusia 40 tahun yang berwajah teduh dan berkacamata bulat, dia memakai baju dan pantalon dari bahan yang amat murah dengan potongan yang amat sederhana. Ketika diperkenalkan bahwa lelaki tersebut adalah seorang Menteri Penerangan RI, Kahin terkejut. Dia sama sekali tidak menyangka, lelaki yang kelak dikenalnya dengan nama Muhamad Natsir itu ternyata sangatlah bersahaya, tidak ada beda dengan rakyat kebanyakan. Apalagi dirinya mendengar jika baju itu merupakan satu-satunya baju yang dianggap pantas untuk acara-acara resmi.

Kahin mengenang, "Saya dengar, beberapa pekan kemudian, para anak buahnya di Kementerian Penerangan berpatungan membelikan Pak Menteri Natsir sehelai baju yang lebih pantas. Setelah baju itu dipakai Pak Menteri Natsir, para anak buahnya berkata, 'Nah ini baru kelihatan menteri betulan'."

Jika pada hari ini banyak pemimpin yang memperkaya diri, bahkan menuntut agar penghasilan mereka terus dinaikkan, itu adalah watak kepemimpinan demokrasi-kapitalisme. Di mana orang mengeluarkan banyak modal untuk jadi pemimpin, maka ia akan mencari banyak pendapatan saat berkuasa untuk menutupi modalnya menjadi pejabat sekaligus mengambil laba.

Padahal, akibat perbuatannya itu umatlah yang menjadi korban. Nabi saw. bersabda:

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
“Tidaklah dua ekor serigala lapar yang dilepas pada kerumunan hewan ternak lebih merusak dari kerusakan pada agama seseorang akibat bernafsunya terhadap harta dan kehormatan,”(HR. Tirmidzi).

Semoga Allah menyegerakan munculnya para pemimpin yang dijanjikan, yakni yang menjalankan khilafah rasyidah ala minhajin nubuwwah, kekhilafahan yang mendapat petunjuk yang sesuai dengan metode kenabian, yang para pemimpinnya menjaga amanat dan harta rakyatnya.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar

 
back to top