Rabu, 05 Maret 2014

Menggapai Pertolongan Allah Dengan Qiyamul Layl

Seorang muslim bukanlah manusia yang gemar menghabiskan hidupnya hanya untuk bersantai-santai dan membuang waktu. Tapi sifat seorang muslim adalah yang digambarkan oleh Allah Ta’ala dalam firmanNya:


 تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ خَوْفًا وَطَمَعًا وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo`a kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.”(QS. as-Sajdah: 16).

            Seorang muslim yang ingin dimuliakan Allah gemar melakukan qiyamul layl. Inilah salah satu cara bertaqarrub yang dicintai Allah dari hamba-hambaNya. Menghidupkan sebagian malam untuk beribadah dengan shalat malam, berzikir dan membaca al-Quran. Di saat banyak orang tertidur pulas, atau menghabiskan malam dengan kegiatan tak berguna – begadang, menonton televisi, keluyuran, atau di klab-klab malam --, seorang muslim yang mengharapkan kemuliaan dari Rabbnya, bangun, membasuh tubuhnya dengan air wudlu yang dingin, bersiwak, lalu mengerjakan aneka ibadah kepada Rabbnya.
            Lantunan ayat al-Quran yang dikumandangkannya di sebagian malam, lalu disambung dengan aneka doa, akan membuahkan kebaikan yang tak ternilai dari Allah Ta’ala. Al-Khaliq dan Pemilik langit serta bumi, ini berjanji akan memberikan kedudukan yang terpuji di sisi segenap mahlukNya, dan di sisiNya.

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”(QS. al-Isra: 79).

            Sangat pantas Allah memberikan kemuliaan bagi orang-orang yang bergegas dengan penuh semangat dan keikhlasan mengerjakan ibadah pada malam hari. Ia membutuhkan pengorbanan dan hanya sedikit orang yang sudi mengerjakannya. Kebanyakan orang justru lebih suka melampiaskan nafsu tidurnya pada sebagian malam terakhir. Bahkan sebagian lagi tertidur pulas melewati waktu subuh.
            Sebagian malam yang akhir adalah kesempatan untuk banyak bermunajat kepada Allah, karena itu adalah saat terdekat untuk memanjatkan aneka permohonan. Allah mendengarkan semua pujian untukNya dan permintaan dan permohonan tolong dari hamba-hambaNya.

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الرَّبُّ مِنَ الْعَبْدِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ الْآخِرِ فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَكُونَ مِمَّنْ يَذْكُرُ اللَّهَ فِي تِلْكَ السَّاعَةِ فَكُنْ

“Sedekat-dekat Rabb dengan hambaNya adalah pada pertengahan malam yang akhir. Jika kamu mampu menjadi orang yang mengingat Allah pada waktu itu maka lakukanlah.”(HR. Nasaiy).
            Ada sejumlah keutamaan yang Allah tebarkan khusus bagi orang-orang yang menghidupkan malam harinya dengan mendekatkan diri kepadaNya. Antara lain:
1.       Mendapatkan kedudukan yang mulia yang dijanjikan Allah Ta’ala:

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”(QS. al-Isra: 79).

2.       Mengikuti jejak langkah orang-orang soleh terdahulu, dan mendekatkan diri kepada Allah serta mendulang pengampunan atas segala kesalahan.  Nabi saw. juga menyebutkan bahwa qiyamul layl adalah mencegah dosa dan penangkal penyakit fisik.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأَبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ وَإِنَّ قِيَامَ اللَّيْلِ قُرْبَةٌ إِلَى اللَّهِ وَمَنْهَاةٌ عَنْ الْإِثْمِ وَتَكْفِيرٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَطْرَدَةٌ لِلدَّاءِ عَنْ الْجَسَدِ

Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda : “Kerjakanlah sholat malam sebab ia merupakan kebiasaan orang-orang sholeh sebelum kamu pada zaman dahulu. Ia juga merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’aala, sebagai penebus amal kejahatan-kejahatanmu, pencegah dosa dan penangkal penyakit pada badan.”(HR Tirmidzi 3472).

3.       Mempersiapkan diri menjadi salah satu penghuni surga

إِنَّ فِي الْجَنَّةِ غُرْفَةً يُرَى ظَاهِرُهَا مِنْ بَاطِنِهَا وَبَاطِنُهَا مِنْ ظَاهِرِهَا أَعَدَّهَا اللَّهُ لِمَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَلَانَ الْكَلَامَ وَتَابَعَ الصِّيَامَ وَصَلَّى وَالنَّاسُ نِيَامٌ
 
“Sesungguhnya di surga terdapat tempat-tempat yang tinggi, luarnya tampak dari dalam dan dalamnya tampak dari luar yang dipersiapkan untuk orang-orang memberi makan orang yang membutuhkan, melunakkan ucapan, memperbanyak puasa, dan sholat (malam) ketika manusia tertidur.”(HR. Ahmad).

            Marilah kita gunakan hidup kita sebagai kesempatan untuk selalu dekat dengan Allah. Hanya Allah yang bisa memberikan bantuan dan pertolongan. Melapangkan segala kesempitan dan membuka simpul-simpul kesulitan hidup di dunia dan akhirat. Hidupkanlah malam hari kita untuk mendekatiNya, karena Ia amat senang dengan orang-orang yang menghidupkan malam dengan ibadah kepadaNya.
Baca Selengkapnya »»  

Kamis, 28 Februari 2013

Adab Memuji

أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ مُلُوكُ الْأَرْضِ
“Aku adalah Raja (al-Malik), di manakah raja-raja/para pemimpin dunia?”

Nabi saw. mengajarkan kaum muslimin agar berhati-hati dalam memberikan pujian kepada seseorang. Bahkan Beliau saw. mengingatkan umatnya agar tidak mengkultuskan diri Beliau sebagaimana kaum Nasrani mengkultuskan Isa bin Maryam as. Sabdanya:

لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian memuja diriku sebagaimana orang-orang Nasrani memuja Isa bin Maryam, sesungguhnya aku adalah hambaNya, katakanlah; ‘hamba Allah dan rasulNya’.”(HR. Bukhari).

Pada hari ini sebagian kaum muslimin jatuh pada pemberian pujian yang berlebihan kepada orang yang mereka hormati. Sebagian pujian itu malah mendekati pemujaan atau pengkultusan, atau pentaqdisan. Orang yang mereka puji seolah orang yang suci dan mereka taqdiskan sedemikian rupa.

Budaya seperti ini bukanlah kebiasaan kaum muslimin. Dalam ajaran Islam pentaqdisan hanya diberikan kepada Allah SWT. dan bukan kepada yang lain. Budaya pentaqdisan hanya terjadi dalam agama di luar Islam. Seperti kaum Nasrani yang memuja-muja Isa bin Maryam.

Abu Musa al-Asy’ari ra. berkata; “Nabi saw. mendengar seorang memuji orang lain setinggi-tingginya, maka Nabi saw. bersabda:
أَهْلَكْتُمْ أَوْ قَطَعْتُمْ ظَهَرَ الرَّجُلِ
“Engkau telah mematahkan atau memotong punggung orang itu!”(Muttafaq alayh).

Ketika al-Miqdad melihat seseorang memuji Utsman, maka segera al-Miqdad jongkok dan menaburkan tanah kerikil ke mukanya. Maka Utsman bertanya, “Apa yang kau lakukan itu?” al-Miqdad menjawab, ”Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُ الْمَدَّاحِينَ فَاحْثُوا فِي وُجُوهِهِمُ التُّرَابَ
“Jika engkau melihat orang memuji-muji, maka taburkanlah pada wajah mereka tanah.”(HR. Muslim).

Ibnu Baththal menyimpulkan bahwa larangan itu diperuntukkan bagi orang yang memuji orang lain secara berlebihan dengan pujian yang tidak layak dia terima. Dengan pujian ini orang yang dipuji tersebut, dikhawatirkan akan merasa bangga diri, karena orang yang dipuji mengira bahwa dia memang memiliki sifat atau kelebihan tersebut. Sehingga terkadang dia menyepelekan atau tidak bersemangat untuk menambah amal kebaikan karena dia sudah merasa yakin dengan pujian tersebut.

Demikian pula para ulama menjelaskan bahwa jika orang yang dipuji itu memiliki iman yang baik dan tidak khawatir akan muncul sikap sombong, maka tidak mengapa. Sebagaimana Nabi saw. pun acapkali memuji akhlak para sahabat.

Jika memuji orang yang beriman dan beramal soleh saja demikian ketat, maka bagaimana lagi jika pujian itu diberikan kepada orang yang sebenarnya adalah orang fasik. Sayangnya pada hari ini demikian mudah kaum muslimin memberikan sanjungan bahkan mengkultuskan orang yang keimanan dan keislamannya patut dipertanyakan. Ada orang yang disanjung bak pahlawan padahal pemikirannya sering melecehkan ajaran Islam serta tindakannya merugikan umat.

Terhadap hal ini Rasulullah saw. mengingatkan bahaya tindakan demikian. Sabda Nabi saw.:

لَا تَقُولُوا لِلْمُنَافِقِ سَيِّدٌ فَإِنَّهُ إِنْ يَكُ سَيِّدًا فَقَدْ أَسْخَطْتُمْ رَبَّكُمْ عَزَّ وَجَلَّ
“Janganlah kamu menyebut orang munafiq itu sayyid (tuan), kalau memang benar ia majikan berarti kamu telah memurkakan Rabbmu.”(HR. Abu Daud).

Hadits ini secara tegas melarang kaum muslimin untuk menyanjung orang munafiq. Yakni orang yang bermanis muka untuk mendapatkan keuntungan atau dukungan dari kaum muslimin padahal sebenarnya ingin menikam umat.

Larangan serupa juga berlaku bagi orang-orang fasik dan zalim. Kepada mereka dilarang untuk memberikan sanjungan atau gelar yang menunjukkan kehormatan. Karena sebenarnya Allah sudah menghinakan mereka akibat perbuatan nifak, fasik dan kezalimannya.

Lebih-lebih lagi kepada orang kafir yang nyata-nyata membahayakan kaum muslimin. Menciptakan makar untuk merusak dan memerangi kaum muslimin. Allah telah memberikan sebutan kepada mereka dengan sebutan yang buruk akibat kekufuran dan perbuatan mereka. FirmanNya:

إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللَّهِ الَّذِينَ كَفَرُوا فَهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman.”(QS. al-Anfal: 55).

Kita berlindung kepada Allah dari perilaku memberi sanjungan kepada orang-orang yang tidak diridloi Allah, khususnya kaum kuffar yang telah menyusahkan dan memerangi kaum muslimin.
Baca Selengkapnya »»  

Sabtu, 29 Desember 2012

Doa & Ikhtiar

Berdoa adalah inti dari ibadah. Setiap muslim diperintahkan untuk memperbanyak doa dan meninggalkan rasa malas dalam berdoa. Sabda Nabi SAW.:
سَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ أَنْ يُسْأَلَ
“Mintalah kepada Allah dari anugerah-Nya, sesungguhnya Allah senang untuk diminta.”(hr. Tirmidzi)

Nabi SAW. juga menjelaskan betapa murkanya pada Allah kepada orang-orang yang meninggalkan amalan berdoa.
مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللَّهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang tidak memohon kepada Allah, maka Allah murka padanya,”(hr. Tirmidzi)

Seorang muslim diperintahkan untuk bermunajat kepada Allah dalam setiap waktu. Beragam doa diajarkan baik dalam Kitabullah maupun melalui lisan Nabi saw. Tidak saja saat beribadah tetapi juga dalam aneka kondisi; naik kendaraan, makan dan minum, melihat hujan, bepergian, dsb. Dengan berdoa maka seseorang menjaga kedekatannya dengan Allah Ta’ala.

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
“Maka ingatlah diriku niscaya Aku mengingat dirimu, dan bersyukurlah kepadaKu dan jangan mengingkariKu.”(QS. al-Baqarah: 152).

Berdoa bukanlah bentuk keputusasaan, justru ia adalah salah satu ikhtiar yang bersifat ruhiyah. Pelakunya yakin bahwa senantiasa ada idrak shillah billah, kesadaran hubungan dengan Allah. Bahwa tidak ada yang bisa memudahkan dan memberi kesusahan melainkan hanya Allah Ta’ala. Sebagaimana pesan Nabi saw. kepada Ibnu Abbas ra.

إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ
“Jika engkau memohon maka mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta tolong maka minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah seandainya manusia berkumpul untuk memberi manfaat kepadamu dengan sesuatu maka tidak akan bisa memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan kepadamu, dan jika manusia berkumpul untuk mencelakakan dirimu dengan sesuatu maka tidak akan bisa mencelakakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu.”(HR. Tirmidzi).

Meski demikian berdoa bukanlah satu-satunya cara yang diperintahkan oleh Allah dalam mengatasi kesulitan hidup. Sehingga ada anggapan bahwa cukuplah bagi kaum muslimin dengan berdoa sehingga semua masalah akan teratasi.

Ini adalah kesalahpahaman yang menjurus pada sikap fatalistik. Menyandarkan semuanya pada masalah yang ghaib. Hal ini pernah menimpa kaum muslimin di masa lampau saat menghadapi serangan Mongol/pasukan Tartar, di mana mereka menghadapinya hanya dengan membaca kitab Shahih Bukhari, berharap keberkahan hadits-hadits Nabi saw. bisa menolak bencana. Hal seperti ini juga terulang di masa sekarang. Kita sering menyaksikan doa bersama untuk menolak aneka krisis; krisis moral, krisis ekonomi, dan bencana alam.

Selain memerintahkan berdoa, Allah pun memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan ikhtiar yang bersifat fisik/materi. Dalam peperangan, Allah mewajibkan umat Islam untuk mempersiapkan pasukan sebaik-baiknya sehingga bisa menggentarkan hati musuh. Sebagaimana firmanNya:
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآَخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ

Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kalian menggentarkan musuh Allah, musuh kalian, dan orang-orang selain mereka yang kalian tidak mengetahuinya; sedangkan Allah mengetahuinya.(QS. al-Anfal: 60).

Berbagai problematika yang dihadapi umat pada hari ini, krisis yang multidimensi, tidak cukup dipecahkan dengan doa. Tetapi wajib ada ikhtiar nyata. Aneka masalah yang mencekik kita hari ini disebabkan jauhnya umat dari ajaran Islam; akidah dan syariatnya. Maka usaha yang harus dilakukan adalah membumikan ajaran Islam, menjadikan akidah Islamiyah sebagai landasan kehidupan bermasyarakat serta menjadikan syariatnya sebagai aturan dalam kehidupan. Inilah perubahan  yang harus dilakukan oleh umat, bukan sekedar berdoa dan menunggu datangnya perubahan dari langit. Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, hingga kaum itu mau mengubah nasibnya sendiri.” (Ar Ra’d: 11).
Baca Selengkapnya »»  
 
back to top